Penjelasan Syafaat dalam Urusan Dunia

Maksud syafaat disini adalah perantaraan yang diajukan kepada pihak yang memiliki kedudukan atau pihak penguasa dan yang sejenisnya dari pihak yang menginginkan diberikan hak-haknya, terdapat pengajuan kepada mereka yaitu pemilik kedudukan dan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain, menyerahkan hak-hak dan keperluannya atau untuk menolak kezaliman dari mereka dan yang sejenisnya. 

Syafaat dalam urusan dunia ada dua jenis yaitu pertama dianjurkan dan terpuji, kedua haram dan tercela.

 

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan terkait hal itu: "dianjurkan syafaat untuk memenuhi kebutuhan yang diperbolehkan syariat (mubah), sama saja apakah diajukan kepada kepala negara, penguasa dan sejenisnya atau kepada salah satu dari tokoh masyarakat, dan sama saja apakah syafaat diajukan kepada kepala negara untuk menolak kezaliman, menjatuhkan hukuman, atau memperlancar dalam proses donasi/bantuan bagi yang membutuhkan dan sejenisnya. Adapun meminta syafaat untuk menghindari dari hukuman pidana, demikian juga syafaat digunakan untuk menyempurnakan kebatilan, atau membatalkan kebenaran, dan sejenisnya maka haram (Syarah An Nawawi li sahihi muslim 16/177 dan 178).

 

Imam An Nawawi mengatakan dalam kitab yang lain:

 

"ketahuilah, dianjurkan syafaat diajukan kepada penguasa dan sejenisnya untuk diberikan kepada pemilik hak dan pemilik hak penuh selama bukan untuk menghindari hukuman pidana atau untuk perkara yang haram jika ditinggalkan seperti syafaat untuk orang yang punya kewajiban mengurus anak-anak, orang gila, atau pewakaf dan sejenisnya untuk meninggalkan sebagian kewajiban yang harus ia laksanakan dalam kewenangannya, maka syafaat untuk tujuan seperti kasus-kasus ini hukumnya haram bagi pihak yang mengajukan syafaat (الشافع) dan haram juga bagi yang menerima syafaat (المشفوع إليه) serta haram bagi selain dari keduanya pihak yang berperan serta ikut membantunya jika ia telah mengetahuinya" (Al Adzkar Linawawi hal 508).

 

Maka syafaat untuk orang lain dengan tujuan memperlancar sampainya hak orang lain atau dengan tujuan menolak kezaliman pada orang lain atau sejenisnya yang masih termasuk kebutuhan manusia yang diperbolehkan oleh syariat merupakan usaha yang patut disyukuri dan amalan yang diterima. Sebaliknya, syafaat dengan tujuan membatalkan hak-hak orang lain atau menguatkan kebatilan atau menolak hukuman pidana maka ini usaha tercela dan amalan tertolak.

 

Banyak dalil syar'i yang menunjukkan uraian yang telah disebutkan, Allah Ta'ala berfirman:

 

مَنۡ يَّشۡفَعۡ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَّكُنۡ لَّهٗ نَصِيۡبٌ مِّنۡهَا‌ ۚ وَمَنۡ يَّشۡفَعۡ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَّكُنۡ لَّهٗ كِفۡلٌ مِّنۡهَا‌

 

"Barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya" (An nisa:85)

 

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini. Maksud kalimat

 

مَنۡ يَّشۡفَعۡ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَّكُنۡ لَّهٗ نَصِيۡبٌ مِّنۡهَا

 

Yaitu orang yang berusaha dalam suatu urusan kebaikan membantu orang lain maka ia berhak mendapatkan pahala dari kebaikan tersebut.

 

Dan maksud kalimat 

 

وَمَنۡ يَّشۡفَعۡ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَّكُنۡ لَّهٗ كِفۡلٌ مِّنۡهَ

 

Yaitu ia berhak menanggung beban dosa karena membantu dalam keburukan dengan usaha dan niatnya.

 

Mujahid bin Jabir berkata:"ayat ini turun berkenaan dengan syafaat dalam perkara dunia dari sebagian manusia kepada sebagian lain" (Tafsir Ibnu Katsir 1/532).

 

Penyalur syafaat untuk perkara yang baik maka ia akan diberi balasan baik (pahala) walaupun syafaatnya tidak sampai diterima karena ia telah mengorbankan dirinya menjadi sarana kebaikan dan ia melakukan sesuai dengan kemampuannya"

 

Misal, ia menyalurkan bantuan dengan mengantar donasi untuk kampung yang terkena musibah, di tengah jalan ia mati karena kecelakaan dan donasinya tidak sampai maka ia tetap diberi pahala atas usaha yang ia lakukan sesuai kemampuan (pent.).

 

Ibnu Jarir At thabari meriwayatkan dari Al Hasan Al basri rahimahullah bahwa sungguh ia berkata:

 

"Siapa saja yang memberikan pertolongan yang baik maka ia mendapatkan pahalanya meskipun pertolongan tersebut tidak sampai, karena Allah berfirman: siapa saja yang memberikan pertolongan (يشفع yasfa') yang baik maka ia mendapatkan bagian dari kebaikan tersebut, Allah tidak menyebutkan diterima pertolongan/sampainya pertolongan (يشفع Yusyaffa')

 

Dalil dari hadis terkait dengan syafaat ada dalam shahih Bukhari Muslim dari Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu anhu ia berkata:

 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata ketika ada pengemis mendatanginya atau beliau diminta suatu keperluan maka beliau menyuruh: 

 

إشفعوا توجروا، ويقضي الله على لسان نبيه ص ع و ما شاء

 

"Tolong dia maka kalian akan diberi pahala dan Allah menetapkan di atas lisan nabinya apa yang Dia kehendaki" (Sahih Bukhari No.2/18, Muslim No.4/2026).

 

Disebutkan dalam shahih Bukhari Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa wanita Quraish terpandang status sosialnya dari suku Bani makhzum telah mencuri, kaum Quraisy bertanya:

"Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak ada yang berani kecuali Usamah, lalu Usamah berbicara kepada beliau, lalu Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bertanya: Apakah engkau minta tolong penghapusan dalam satu hukum pidana dari hukum-hukum pidana Allah? Lalu beliau berdiri dan berkhutbah: wahai manusia, sungguh umat sebelum kalian menyimpang, sungguh keadaan mereka dulu ketika ada orang terpandang mencuri  tidak dihukum, dan jika ada orang lemah mencuri mereka melaksanakan hukuman, demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya" (Sahih Bukhari 7/16, Sahih Muslim no.3/1315).

 

Dalam hadist tersebut terdapat petunjuk menolak syafaat untuk tujuan menghindar dari hukuman pidana jika perkaranya telah sampai kepada penguasa. Oleh karena inilah, Imam Bukhari membuat judul terkait hadist ini:

 

باب كراهية الشفاعة في الحدود إذا رفع إلى السلطان

 

"Bab Kemakruhan Syafaat untuk menghindar dari hukuman pidana jika telah sampai ke penguasa"

 

Dan hal itu dikuatkan oleh sebagian jalan-jalan periwayatan hadis sebagaimana yang didatangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar (Fathul Bari 12/95).

 

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah bahwasanya ia berkata:

 

"Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) bahwa syafaat bagi pelaku dosa (tindak pidana) adalah perkara yang baik selama belum sampai ke penguasa, dan sungguh wajib bagi penguasa menegakkan hukuman jika kasusnya telah sampai kepadanya"

 

Imam Malik rahimahullah membedakan antara orang yang dikenal dan yang tidak dikenal, beliau berpendapat: tidak boleh diberikan syafaat secara mutlak bagi orang yang terkenal menyakiti manusia, sama saja sudah sampai kasusnya ke penguasa atau tidak dan adapun untuk orang yang tidak dikenal melakukan tindakan pidana maka boleh memberikan syafaat selama kasusnya belum sampai ke penguasa" (Fathul Bari 12/95).

 

Inilah bagian syariat yang menjelaskan syafaat berkenaan dengan urusan dunia agar sempurna faedahnya. Selain dari penjelasan ini maka arah diskusi tentang syafaat berkaitan dengan perkara akhirat, Allahlah Zat Pemberi taufik dan pertolongan.

 

Referensi:

Asy syafaa'atu inda ahlis sunnah wal jamaah wa raddu a'lal mukhalifiina fiiha. Nasir Bin Abdurrahman Al Juda'i. Hal 16-19. Cetakan ke-3. 1430 H/2009 M. Daaru Atlas Al khudara. Riyadh. KSA

 

Malang, Sabtu 15 Jumadil Akhir 1444/7 Januari 2023

 

 

Akhukum fillah

 

Dodi Iskandar

Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kimia Universitas Brawijaya

(Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta)

No comments:

Post a Comment