Jangan Biarkan Syariat memvonismu lebih hina dari seekor Anjing

Hendaknya seorang muslim itu memiliki rasa malu dan jangan mau disamakan seperti seekor anjing. Bahkan mungkin ia bisa lebih hina lagi darinya, jika donasi yang telah ia salurkan ia tarik kembali hanya karena rasa benci semata kepada pengurus lembaga penerima donasi.

Padahal donasi yang terkumpul bukan semuanya dari kantong pribadinya, melainkan hasil kolektif dari masyarakat umum dan peran serta para penyebar proposal pengajuan donasi. Bahkan tragisnya, sebagian donatur lainnya ada yang keberatan jika donasi yang telah mereka sumbangkan untuk ditarik kembali hanya karena dirinya oknum penyalur yang merasa paling berjasa paling banyak mengumpulkan rupiah dalam penggalangan donasi tersebut.

Secara lahiriah peminta kembali donasi tersebut telah melakukan beberapa pelanggaran syariat:

Pertama, ia berdosa telah melakukan kesalahan berdasarkan dua sabda nabi berikut:

العائد في هبته كالكلب، يقيئ ثم يعود في قيئه

"orang yang meminta kembali donasi yang telah ia serahkan seperti seekor anjing yang muntah lalu mengambil lagi muntahannya dan menelannya" [1]


 لا يحل لمسلم أن يعطي العطية ثم يرجع فيها، إلا الوالد فيما يعطي ولده

"Haram hukumnya bagi seorang muslim yang menyerahkan donasi kemudian memintanya kembali, kecuali donasi dari seorang ayah kepada anaknya" [2] 

Kedua, ia bersalah karena menarik kembali donasi yang tidak murni berasal dari kantong pribadinya, karena masih ada donatur dan para penyalur lainnya yang tidak setuju dengan hasrat pribadinya. Berarti ia telah melanggar sabda nabi yang lain:

المسلمون على شروطهم

"Muslim itu terikat dengan persyaratan-persyaratan yanh telah disepakatinya" [3]


Terlebih lagi jika donasi tersebut telah berwujud tanah wakaf yang telah menjadi wewenang lembaga yang diakui keabsahannya oleh negara. 

Dalam tinjauan fikih, sesuatu yang tidak bisa dipisahkan secara syariat maka tidak boleh dipisahkan dalam prakteknya. 

Misalnya satu petak tanah wakaf hasil pembelian dengan dana hasil donasi masyarakat umum dan sumbangan moril lainnya seperti panitia yang telah berjasa meyakinkan status hukum aman tanahnya (bukan tanah sengketa) dan sumbangan non material (buah pikiran dan lain sebagainya), dan itu semua satu kesatuan yang tidak bisa dipisah secara syariat. Maka tidak boleh dikuasai bahkan diperjual belikan hanya karena memenuhi syahwat satu penyalur donasi, sementara para donatur lainnya tidak semuanya setuju.

Ketiga, ia adalah warga sipil yang buruk adab. Berani dengan lancang melanggar aturan negara.

Indonesia adalah negara hukum. Penggalangan dana sosial telah diatur dalam undang-undang. 

Diantaranya yaitu Undang-Undang No 9 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan [4]. 

Dilarang keras seseorang menyerahkan donasi sosial atas nama perorangan, walaupun ia menyerahkannya kepada yang ditokohkan sekalipun ("baca pak tengkorak" bahasa arabnya tengkorak apa....?). 

Ingatlah, seorang muslim itu wajib taat kepada peraturan negara. Karena mematuhi ulil amri dalam perkara yang tidak mengandung maksiat adalah perintah wajib dan mengamalkannya termasuk ibadah.

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu " (An nisaa:59).

Cukuplah gambaran peminta kembali donasi disamakan dengan seekor anjing yang menelan kembali muntahannya, lalu apatahlagi jika yang ditelan adalah muntahan dari anjing lainnya, 

من باب الاولى


tentu perumpannya lebih hina lagi. 

Rasa malu adalah perhiasan seorang muslim. Jikalau urat malunya sudah putus maka ia lupa akan sabda nabi alaihi sholatu wasallam:

الحياء من الإيمان

"rasa malu itu sebagian dari iman" [5] 

Kalau penyalur saja yang meminta kembali donasi disamakan dengan seekor anjing bahkan lebih hina lagi karena sumber donasi semata-mata bukan berasal dari dompetnya, lalu permisalan apa lagi yang layak bagi orang yang menyuruhnya, memprovokasinya, membantunya, merayunya, mengorganisirnya?

Tentu para pembaca lebih tahu hewan apa yang lebih hina dari seekor anjing. Yang pasti ia jauh lebih bodoh dan lebih barbar dan lebih menjijihkan lagi dari deskripsi anjing yang menelan muntahannya.


الجهالة ليس معناها عدم العلم,لان الجاهل لا يؤاخد [6]

"Kebodohan itu bukanlah karena tidak punya ilmu، orang yang asalnya tidak tahu itu tidak dikatakan bodoh ("ia belum tahu halal dan haram saja")".

Kita berikan pemakluman (معذور) bagi orang yang berbuat salah karena ketidaktahuan.

Namun bagaimana jika yang melakukan kebodohan seorang yang diberi gelar dan digadang-gadang Lc (dalam ijazahnya tertulis BA)? Yang merasa dirinyalah tempat pertama paling pantas melapor dalam setiap agenda mendatangkan pemateri papan atas tanah air ke bumi equator, dijunjung dan disanjung sebagai pioneer, meskipun dahulu saat pemateri papan atas (murid syaikh ibnu ustaimin rahimahullah) datang pertama kalinya ke tanah kesultanan al qodariyyah ia bukan siapa-siapa. Ia tidak dikenal.

Walaupun ia menyandang Bachelor of Arts dari Madinah atau Licence dari Mesir kalau dalam realitasnya melakukan tindakan kecerobohan, kebodohan, dan ketololan, maka tentunya ia sedang berdinas menjalani dan tengah masuk dalam fase kebodohan, tinggal kapan ia pensiun dari fase tersebut (semoga ia lekas bertaubat).

Orang yang bodoh versi syariat adalah 

ضد الحلم

"Orang yang tidak cerdas" [6].

Orang yang tidak cerdas atau orang yang melakukan tindakan bodoh adalah 

كل من عصى الله فهو جاهلا بمعنى ناقص الحلم وناقص العقلية وناقص الإنسانية

"setiap person yang bermaksiat kepada Allah maka ia adalah orang yang jahil (padahal ia tahu itu maksiat), maknanya ia kurang cerdas, kurang akal, dan kurang sifat manusianya"[6]

Hanya kepada Allah kita semua kembali, orang yang masih ada iman di dalam sanubarinya, tentu ia akan kembali kepada al haq jika ada yang mengingatkannya, cukuplah isyarat itu menjadi nasehat bagi dirinya yang merasa.

Semoga saya dan anda termasuk orang-orang yang bertaubat.

Allahu musta'an.


Malang, Senin 18 April 2022


Al fakir ilallah

Dodi Iskandar, S.Si, M.Pd

Dosen Polnep, Alumni Mahad al ilmi Yogyakarta,

Pengajar Mahad Islamic Center Bin Baz Yogyakarta tahun 2012-2013


Referensi:

[1] HR Bukhari no. 2589, HR Muslim no.1622)

[2] HR Imam Ahmad no.5469, HR Tirmidzi no.2132

[3] HR Tirmidzi no.1352

[4] Undang-undang no 9 Tahun 1961 dan Peraturan pemerintah no 29 tahun 1980

[5] HR Bukhari no. 44 dan HR Muslim no. 36

[6] Syarhu Al qowaid al arba'. Prof.Dr. Soleh Al Fauzan. Mukadimah pertama

No comments:

Post a Comment