Penjelasan Risalah Syarat, Wajib, dan Rukun Sholat, bagian ke-9

Syarat yang ketujuh dari syarat sah sholat yakni ber’istinja' atau ber’istijmar sebelum wudhu. Istinja' atau Istijmar didahulukan atas wudhu. Mensucikan lokasi yang terkena najis jika dengan istinja' mengunakan air atau dengan istijmar menggunakan batu. Contohnya ketika air kencing atau kotoran tinja keluar maka wajib mensucikan lokasi keluarnya air kencing atau kotoran tinja sebelum wudhu dengan istinja' menggunakan air. Caranya yaitu membasuh ujung kemaluan (zakar) dengan air dan tidak perlu mencuci seluruh kemaluan. Bagian yang dicuci hanya lokasi keluarnya saja. Demikian juga mencuci dubur (tempat keluarnya tinja) dengan menggunakan air atau dengan istijmar menggunakan batu.

Istijmar memiliki syarat-syarat yakni:

1. Dapat menggunakan batu atau selainnya. Contohnya tisu kering yang dapat membersihkan lokasi yang keluarnya air kencing atau kotoran tinja.

2. Jumlah sapuan pada lokasi keluarnya air kencing atau kotoran tinja minimal tiga kali sapuan (dengan tiga batu yang berbeda) atau lebih sampai bersih, tidak boleh ada yang tersisa kecuali bekas yang sedikit sekali, dimana hal ini tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air maka hal ini dimaafkan. Istijmar tidak cukup hanya dengan satu dan dua sapuan (minimal 3 kali), walaupun lokasi keluarnya air kencing atau kotoran tinja sudah bersih.

3. Kotoran yang keluar tidak melebihi lokasi keluarnya kotoran. Jika air kencing menyebar hingga kepala kemaluan maka tidak cukup menggunakan batu tetapi harus menggunakan air. Demikian juga, jika kotoran tinja yang keluar sampai mengenai dua belahan pantat, maka tidak cukup batu tetapi harus menggunakan air.

Syarat yang kedelapan dari syarat sah wudhu adalah airnya suci dan halal. Air suci maksudnya air yang suci mensucikan, seandainya berwudhu dengan air yang najis maka wudhunya tidak sah, karena air yang najis tidak bisa menghilangkan hadast.

Adapun air yang halal yaitu air yang dibolehkan oleh syariat untuk berwudhu. Maka jika wudhu dengan air ghosob (air rampasan) maka Syaikh Muhammad bin 'Abdil wahab Rahimahullah yang bermazhab Hanabilah, berpendapat bahwa air ghosob (air rampasan) tidak boleh dipakai. Walapun air tersebut secara zat suci dan mensucikan karena tidak bercampur dengan najis, akan tetapi air ghosob (air rampasan) merupakan air yang haram bukan air yang halal, maka tidak sah wudhu dengannya. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa wudhu dengan air ghosob (air rampasan), wudhunya sah tetapi berdosa. Ia tetap mendapatkan pahala wudhu dan sholat, namun dia mendapatkan dosa atas perbuatan ghosobnya. Jika anda mengetahui status air tersebut adalah air rampasan namun tetap digunakan, maka baginya dosa, dan wudhunya tetap sah. Demikian juga para ulama berbeda pendapat tentang sah dan tidaknya sholat di atas tanah rampasan.

Syarat yang kesembilan dari sah wudhu yakni menyingkirkan apa saja yang menghalangi air masuk ke dalam kulit, maksudnya yakni menyingkirkan apa saja yang menghalangi air wudhu masuk ke pori-pori kulit. Contohnya pasta (pent. yang menempel di kulit pada bagian anggota wudhu yang wajib dibasuh), maka harus disingkirkan terlebih dahulu. Cntohnya menikur (cata kuku) yang digunakan sebagian wanita yang dipakai dengan melapisi kukunya dengan car tersebut. Maka sebelum wudhu, cat kuku tersebut wajib dihilangkan, jika tidak dihilangkan maka wudhunya tidak sah karena ketika bersuci pada bagian tersebut air tidak masuk ke pori-pori kulit. Adapun pewarna kuku alam (inai) dan minyak tidak menghalangi air masuk ke dalam pori-pori kulit.

Syarat yang kesepuluh dari syarat sah wudhu yakni masuknya waktu sholat fardhu bagi orang yang berhadast terus menerus. Orang yang mengalami hadast terus menerus maka wudhunya tidak sah sampai masuknya waktu sholat fardhu.

Orang yang berhadast terus menerus contohnya orang yang tidak bisa menahan keluarnya air kencing selama 14 jam. Maka ia tetap sholat dalam keadaan tersebut. Caranya, ia menutupkan kain di atas kemaluannya (pent. “pembalut”), kemudian setelah itu membasuh apa-apa yang mengenainya, dan ia tidak wudhu kecuali jika sudah masuk waktu sholat fardhu, lalu langsung segera sholat walaupun saat sholat ada sesuatu yang keluar dari kemaluannya, karena tidak memiliki kemampuan menahannya dan hadastnya terjadi terus menerus.

Adapun jika ada waktu-waktu tertentu hadastnya berhenti (keluarnya kotoran berhenti), maka berikan saran padanya: “manfaatkan waktu tersebut, berwudulah, dan lakukan sholat sendirian walaupun tidak mendapatkan sholat jamaah”. Sholat berjamaah itu hukumnya wajib (pent. “bukan syarat sahnya solat”), sedangkan wudu itu adalah syarat sahnya sholat. Maka dalam kondisi seperti ini syarat didahulukan dari hal yang wajib (pent. “Hal yang bukan syarat sahnya sholat”).

Contoh lain orang yang berhadast terus menerus yakni wanita yang selalu keluar darah istihadhoh (darah penyakit) maka hukumnya disamakan seperti laki-laki yang sulit menahan keluarnya air kencing.  Caranya yaitu menutup bagian lokasi keluarnya darah istihadhoh (pembalut), lalu ia wudhu di setiap waktu masuk sholat fardhu. Contoh lainnya  juga yaitu orang yang luka terus menerus.

Orang yang berhak diberikan teguran dan wajib berhati-hati terhadap urusan agamanya adalah orang yang keadaannya berhadast terus menerus, maka ia berwudu disetiap waktu sholat dan tidak boleh melakukan dua sholat fardu dengan sekali wudu. Jika ia beralasan:”tidak ada najis yang keluar dari badanku”. Berikanlah nasehat padanya:”anda adalah orang yang berhadast terus menerus, akan tetapi kondisi demikian dimaafkan, maka berwudulah di setiap waktu sholat”. 

Allahu'alam


Referensi:

Syarhu risalati syuruti sholati wa wajibatiha wa arkaniha lil imam muhammad bin abdul wahhab. Cetakan pertama 1439. Karya Syaikh Abdul Aziz ar rajihi. Hal 22-24

Pontianak, Ahad 28 Jumadil awwal  1443/ 2 Januari 2022


Akhukum fillah

Abu Abdillah Auditya

Alumni S-1 Kimia Untan

2013-2018


Muroja'ah

Dodi Iskandar

No comments:

Post a Comment