Penjelasan Risalah Syarat, Wajib, dan Rukun Sholat, bagian ke-7

Berkata penulis: "syarat yang keempat yaitu suci dari hadast dengan berwudhu yang benar (sesuai contoh nabi, .pent), dan perkara yang mewajibkannya adalah hadast".

Penjelasan dari perkataan penulis: "syarat yang keempat dari syarat sahnya sholat yakni menghilangkan hadast dengan wudhu yang benar" artinya harus berwudhu saat akan sholat.

Hadast adalah sesuatu yang maknawi (abstrak) yang jika ada pada seseorang maka akan menghalanginya dari: sholat, menyentuh Alqur'an dan thowaf di ka'bah.

Hadast itu berbeda dengan najis. Najis itu jika mengenai baju atau badan maka dicuci dan dibersihkan pada tempat najis tersebut berada.

Contoh hadast yaitu: Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan seperti kencing, tinja dan angin.

Kedua, memegang kemaluan dengan tangan dan memakan daging unta.

Contoh lainnya akan dijelaskan oleh penulis dalam bab pembatal-pembatal wudhu.

Apabila ada salah satu dari pembatal wudhu maka ia disebut muhdistun (orang yang berhadast).Ia wajib menghilangkan hadats tersebut dengan wudhu. Karena hal tersebut merupakan syarat sah sholat.

Jika ia tidak menghilangkan hadast dan tidak berwudhu maka ia masih disebut orang yang berhadast, apabila ia sholat dalam keadaan masih berhadast maka sholatnya batal dan tidak sah.

Perkataan penulis: "perkara yang mewajibkannya adalah karena adanya hadast", maka hadast itu adalah sesuatu yang mewajibkan seseorang berwudhu. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ .... [المائدة : ٦]

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.." (Al-Madinah: 6)

Ini merupakan ayat tentang wudhu, banyak dari kalangan ulama salaf menafsirkan firman Allah Ta'ala: 

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ 

"apabila kamu hendak mengerjakakan sholat"

Maksudnya jika kalian berhadast maka wajib bersuci (berwudhu, pent.) (Tafsir Ibnu katsir : 22/2)

Di dalam hadist dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu.” (HR. Bukhari: Kitabul Wudhuu, Bab: laa tuqbalu sholata bi ghairi thahuuri, no. 135, dan HR. Muslim: Kitabut Thahaarah, no. 224).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu" 

Kemudian seorang pemuda dari Hadhramaut bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: "Apa Hadast itu wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: "Fusaa'un atau Dhuraathun".

Maksudnya, keluarnya angin itu termasuk hadast. Apabila angin yang keluar bersuara maka disebut dhuraathun, namun jika tidak bersuara  dinamakan fusaa'un.

Jika disebabkan adanya angin yang keluar saja disebut hadast dan wajib wudhu untuk menghilangkannya maka tentunya kencing dan buang hajat tentu lebih ditekankan lagi.

Disebutkan dalam kitab sahih Muslim (kitabut Thahaarah, Bab pertama no. 224). Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

"tidak akan diterima shalat tanpa bersuci (wudhu), dan tidak akan diterima sedekah dari hasil curang".

Wudhu itu adalah menggunakan air pada empat anggota tubuh yang disertai dengan niat. Empat anggota tersebut yakni wajah, dua tangan sampai siku, kepala, dan dua kaki sampai mata kaki. Tiga dibasuh dengan air yaitu wajah, dua tangan sampai siku, dan 

dua kaki sampai mata kaki. Satu anggota yang diusap yakni kepala.

Pelaksanaannya harus tertib (berurutan), pertama wajah, kedua dua tangan sampai siku, ketiga kepala, dan keempat dua kaki sampai mata kaki. Prakteknya harus berkesinambungan (tidak ada jeda waktu). Perinciannya akan dijelaskan lebih lanjut.


Referensi:

Syarhu risalati syuruti sholati wa wajibatiha wa arkaniha lil imam muhammad bin abdul wahhab. Cetakan pertama 1439. Karya Syaikh Abdul Aziz ar rajihi. Hal 18-19

Pontianak, Ahad 18 Syafar 1443/ 25 September 2021


Akhukum fillah

Abu Abdillah Auditya

Alumni S-1 Kimia Untan

2013-2018


Muroja'ah

Dodi Iskandar

No comments:

Post a Comment