Klasifikasi Iftiroq pada Umat Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam

Perselisihan (iftiroq) pada umat Nabi Muhammad alaihi sholatu wasallam ada tiga klasifikasi. Yaitu (1) Iftiroq fii aqidah (perselisihan aqidah), (2) iftiroq fii ibadah (perselisihan masalah ibadah) dan (3) iftiroq fii ahkami diin (perselisihan hukum dalam agama). Tidak ada penyebutan iftiroq qolb* [1].

Bagaimana Manhaj salaf mengarahkan kita dalam menyelesaikan perselisihan? Bolehkah kita mengatakan ini halal itu haram? Tanpa dalil.

Jawabannya LAA YAJUZ (tidak boleh) [1].

Iftiroq termasuk bagian dari tabiat manusia. Sebagaimana iftiroq manusia memiliki tabiat bisa salah dan lupa. Yang jadi inti persoalan bagaimana meluruskan tabiat manusia agar berubah dari buruk menjadi baik. Manhaj salaf telah memberikan koridor yang jelas [1]. 

Jika manusia melakukan kesalahan maka jalan keluarnya adalah 

bertobat yang memenuhi syarat tobat dan memperbaiki kesalahan.

Demikian juga tatkala manusia berada dalam kondisi iftiroq maka solusi yang sesuai dengan manhaj salaf adalah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya [1]. 

Tidak boleh dikembalikan kepada mayoritas ustadz atau dikembalikan kepada siapa yang terkenal ketokohannya [1].

Tabiat manusia yang sering beriftiroq sudah disinyalir oleh Allah jalla jalaluh:

ولايزالون مختلفين إلا من رحم ربك

" Dan manusia itu sering berselisih (iftiroq) kecuali orang yang dirahmati Allah" (Hud: 118-119).


Manhaj salaf mengajarkan kita bahwa perselisihan itu dapat diselesaikan dengan kembali kepada Alkitab dan sunnah.

Misalnya anda dan saya beriftiroq maka wajib bagi kita untuk kembali kepada kitabullah dan sunah rasulullah dalam penyelesaian. 

Allah Ta'ala berpesan:

فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر

"Maka jika kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir" (An nisa:59) [1].

Keliru besar Jika perselisihan dikembalikan kepada manusia yang tergolong jahil. Sangat ironis jika ada perselisihan dalam sengketa tanah wakaf antar yayasan misalnya dikembalikan kepada penjual material bahan bangunan sementara ia jahil. Seharusnya, orang alimlah yang fakih (memahami) dalam kaidah fikih yang mengarahkan kedua pihak yang iftiroq untuk kembali kepada alkitab dan sunnah, bukan malah dikembalikan kepada mayoritas. 

Manhaj salaf tidak pernah mendidik kita ukuran kebenaran itu mayoritas. Ukuran kebenaran adalah kesesuian dengan kitabullah dan sunah rasul.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa masing-masing pihak bebas untuk bertahan dengan keyakinannya, pikirannya, madzhabnya tanpa peduli sesuai atau tidak dengan al kitab dan sunnah maka ini pendapat yang batil dan Allah jalla jalaluh melarangnya:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا

"dan berpegang kuatlah kalian dengn tali Allah semuanya jangan berselisih" (Al imran:103) [1].

Wajib bagi kita dalam menyelesaikan iftiroq (sengketa) dalam masalah fikih misalnya sengketa tanah antar yayasan dikembalikan kepada kitabullah. Dikembalikam kepada dalil-dalil. Bukan dikembalikan kepada pihak yang mayoritas [1]. 

Jika dikembalikan kepada mayoritas maka tak ada bedanya dengan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang.

Lihatlah, kedua belah pihak wajib mengeluarkan argumentasinya (hujjah). Orang alim yang sebagai penengah melihat dalil yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak. 

Pihak yang berada di atas dalil yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasu-Nya maka itu yang diambil walaupun minortas dan pihak yang tidak sesuai maka wajib untuk ditinggalkan meskipun mayoritas [1].

Seperti itulah manhaj salaf mendidik kita dalam menyelesaikan iftiroq. Dengan metode mengembalikan kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Bukan justru menghabisi pihak yang minoritas dengan cara memboikotnya atau mengkampanyekan pencitraan buruk yang ini merupakan syiar-syiar kaum musyrikin.

Nabi Sholallahu alaihi wasallam menyampaikan kebenaran kepada umat dengan kitabullah dan sunnah dan sangat sulit dibantah. Apa yang dilakukan oleh kaum musyirikin? Mereka menyebut dan mengkampanyekan nabi sebagai orang gila.

Berusaha menebarkan citra buruk di tengah umat untuk menjauhi rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Demikian juga para sahabat nabi dijuluki oleh kaum munafikin sebagai orang yang pengecut dan banyak makan (tidak kompeten). 

Kaum musyirikin dan munafikin tidak mampu menyampaikan hujjah karena terangnya kebenaran yang dibawakan nabi dan para sahabat bagaikan terangnya matahari di siang bolong.

Namun demikianlah, dari masa ke masa, pegiat kebatilan selalu menggunakan cara-cara keji untuk membunuh karakter pembawa kebenaran dengan nyinyiran kepada rasulullah dengan ejekan bukan nabi melainkan orang gila dan kepada para sahabat dengan celaan pengecut dan banyak makan.

Sama halnya di zaman now, tatkala ada pihak ustadz yang tidak mampu menunjukkan dalil yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasul maka senjata pamungkas yang paling ampuh bagi mereka yaitu membuat citra buruk kepada pihak yang menjadi rivalnya dengan tiga kata saja yaitu DIA BUKAN USTADZ.

Orang awam akan langsung menerima mentah-mentah tanpa mengolah dan menyaringnya serta mengimaninya sebagai kebenaran final. Sebagaimana yang dilakukan kaum musyrikin dan munafikin terhadap nabi dan para sahabat. Senjata mutakhir menurut pegiat kebatilan adalah membuat dan menyebarkan citra buruk. 

Mereka lupa Allah sanggup membalas makar dari setiap kejahatan para hamba-Nya. Orang-orang yang menyimpang tidak akan pernah lolos dari kezolimannya cepat atau  ditangguhkan waktunya.


Bersambung insyaAllah....


Referensi:

[1] Disarikan dari kitab Syarah ushulu siitah Syaikh Soleh Al Fauzan hal 25-26 dengan beberapa penambahan

[2] disarikan dari makna laa ilaaha illallah Syaikh Soleh Al Fauzan dengan beberapa penambahan


Malang, Senin 2 Muharram 1443/ 9 Agustus 2021


Al fakir ilallah

Dodi Iskandar

No comments:

Post a Comment