Makna Kalimat Laa Ilaaha Ilallah dan Konsekwensinya (bagian 5)


Dan termasuk konsekwensi laa ilaaha illallah yaitu menetapkan semua nama Allah dan seluruh sifat-Nya sesuai dengan yang Alllah sebutkan sendiri dan sama dengan apa yang dikabarkan oleh nabi-Nya. 

Selain ucapan Allah dan rasul-Nya tidak boleh dijadikan dasar dalam memberikan nama dan sifat bagi Allah. Dalilnya yaitu:

 ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها وذرالذين يلحدون في اسمائه سيجزون ما كانوا يعملون

"dan Allah memiliki nama-nama yang indah maka berdoalah kepada-Nya dengan perantara nama-Nya dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang di dalam nama-nama Allah, kelak mereka akan dibalas atas apa yang mereka lakukan" (Al Arof:180).

Ini dalil yang tegas melarang memberi nama   Allah serampangan.

Disebutkan dalam kitab fathul majid, pokok penyimpangan dalam bahasa arab yaitu bergeser dari niat yang benar, condong kepada kesalahan, dan menyeleweng dari kebenaran. Semua nama dan sifat yang dimiliki Allah Ta'ala yang telah disampaikan kepada para hamba-Nya berada di atas kesempurnaan.

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan: maka penyimpangan dalam nama dan sifat Allah terjadi karena beberapa hal yaitu karena mengkufuri dan mengingkari dengan cara menolak arti yang ada dalam nama dan sifat tersebut dan menelantarkannya (tidak mau mengartikan) dan juga dengan menyelewengkan dan mengeluarkan dari makna yang benar dengan mentakwil, serta menjadikan nama Allah dimiliki oleh para makhluk seperti penyimpangan yang dilakukan kelompok al ittihad, maka sungguh mereka menjadikan nama dan sifat Allah dijadikan nama bagi benda-benda yang ada di alam yang mana benda-benda tersebut ada yang terpuji dan ada yang tercela.

Al ittihad berkeyakinan bahwa zat Allah menyatu dengan zat makhluk, mereka meyakini keduanya tidak bisa dipisah. Orang yang menyembah binatang sama saja dengan menyembah Allah. Penyamaan seperti ini jelas merupakan penyimpangan.

Contoh, Allah menyebutkan bahwa Allah istawaa di atas singgasana (arsy) ditahrif (diselewengkan) artinya dengan Allah istaulaa (menguasai). Sementara Rasulullah menetapkan istawaa bagi Allah tanpa merubahnya. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Kelompok yang menyimpang dalam nama-nama Allah dan sifat-Nya dengan cara menolak, mentakwil, dan membiarkan (tidak mengartikan) serta tidak meyakini kandungan artinya yang mulia yaitu jahmiyah, mu'tazilah, dan asyaa'iroh. Sungguh telah menyelisihi kandungan arti laa ilaaha illallah. Karena sesungguhnya tuhan (ilah) adalah zat yang menjadi objek dalam doa (yang dimintai) dan menjadikan nama dan sifat-Nya sebagai perantara seperti disebutkan dalam ayat-Nya:

فادعوه بها

"memintalah kepada Allah melalui perantara nama dan sifat-Nya" (Al Arof:180).

Dan sangat aneh jika tuhan tidak memiliki nama dan sifat bagaimana kita dapat meminta tanpa menyebutkan nama dan sifatnya, lalu dengan apa kita memanggil-Nya?

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: manusia banyak berbeda pendapat dalam hukum-hukum fikih dan tidak berselisih pendapat terhadap ayat-ayat tentang sifat-sifat, dan pengkabaran sifat-sifat Allah dalam satu ayat sekalipun bahkan para sahabat dan tabi'in bersepakat dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan berkonsisten terhadap sifat-sifat tersebut dengan disertai memahami artinya dan menetapkan adanya hakikat dari sifat-sifat yang dimiliki Allah. 

Ini menunjukkan bahwa dua hal yaitu nama dan sifat Allah merupakan perkara yang sangat agung dan jelas, dan sesungguhnya perhatian terhadap nama dan sifat Allah dengan kejelasan artinya merupakan sesuatu yang sangat penting karena ini bagian kesempurnaan dari dua kalimat syahadat, menetapkan nama dan sifat Allah termasuk kewajiban tauhid, maka Allah dan rasul telah menjelaskannya dengan jelas, gamblang, dan tidak ada kerancuan di dalamnya.

Ayat-ayat tentang hukum-hukum hampir tidak ada yang memahami kecuali kelompok khusus saja dari manusia. Adapun ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, kelompok khusus dan awam manusia sama dalam memahaminya. 

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: yang aku maksudkan yaitu sama dalam memahami pokok arti bukan memahami seperti apa keberadaanya (kunhi) dan tata caranya (kaifiyah).

Misalnya, saat para sahabat dan tabi'in tatkala melewati ayat berikut:

بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيۡفَ يَشَآءُۚ

“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki” (al Maidah: 64).

Para sahabat dan tabi'in sebagaimana yang telah diungkapkan oleh imam Ibnul Qoyyim, mereka menetapkan dua tangan bagi Allah dan berkonsisten dalam memahami arti tangan tanpa menolak, tanpa merubah arti atau tanpa membiarkan dengan tidak memberikan arti tangan. Mereka tidak pernah mengatakan nanti kalau diartikan tangan maka akan sama dengan tangan manusia, maka jangan diartikan dengan tangan tapi dengan kekuasaan, para sahabat dan tabi'in tidak pernah berbuat lancang seperti itu.

Demikian juga, berdasarkan penuturan Ibnul Qoyyim rahimahullah, para sahabat dan tab'in tidak berselisih tatkala melewati tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan ucapan:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”

Tidak ada di antara mereka kemudian mentakwil, Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kiri dan tidak di kanan, serta Allah tidak butuh arah. Para sahabat dan tabi'in mereka selamat lisannya dari mengatakan seperti itu.

Imam Ibnul Qoyyim juga menuturkan: ini (pembahasan nama dan sifat Allah) adalah perkara yang dapat diketahui dengan fitrah dan akal yang selamat serta dapat dimengerti dengan kitab-kitab yang diturunkan dari langit, sesungguhnya ketiadaan sifat-sifat yang sempurna maka itu bukan tuhan, bukan pengatur dan juga bukan pemelihara, bahkan tercela dan memiliki aib serta kekurangan. Maka tidak layak mendapatkan pujian di dunia dan akherat.

Pujian di dunia dan di akherat hanya dimiliki oleh zat yang memiliki sifat-sifat sempurna dan mulia sehingga berhak atas pujian tersebut.

Oleh sebab itu, para salaf menamakan kitab-kitab yang mereka tulis di atas sunnah, mereka menetapkan sifat-sifat Allah dan ketinggian-Nya di atas para ciptaan-Nya, para salaf menamakan kitab mereka dengan kitab tauhid. Alasannya, karena menolak dan mengingkari serta mengkufuri nama dan sifat Allah adalah bentuk pengingkaran dan penolakan terhadap Allah sebagai pencipta.

Sesungguhnya mentauhidkan Allah adalah menetapkan sifat-sifat sempurna bagi Allah dan membersihkan dari penyamaan dan pengurangan.

Referensi:
Maknaa Laa ilaaha illallah, wa muqtadooha, wa atsaaruhaa fil fardi wal mujtama'i. Syaikh Prof.Dr. Soleh Al Fauzan.Hal 39-42

Pontianak, Kamis 11 Syawal 1441/ 4 Juni 2020

Akhukum Abu Aisyah Dodi Iskandar

No comments:

Post a Comment