Kelima, tidak boleh menyerahkan wadi'ah kepada orang lain (di luar kebiasaan) tanpa udzur. Adapun jika ada udzur seperti safar atau datangnya kematian maka boleh. Jika ia menyerahkannya kepada orang lain karena udzur dan wadi'ah tersebut rusak maka ia tidak berkewajiban menggantinya. Namun jika bukan karena udzur maka wajib mengganti karena ia telah melakukan pelanggaran dan kesalahan.
Keenam, jika mustada'i khawatir terhadap wadi'ah atau ia ingin safar maka wajib mengembalikan wadi'ah ke pemiliknya atau wakilnya. Jika ia tidak mendapatkan keduanya maka ia membawanya saat safar jika hal itu diyakini lebih aman. Jika tidak mampu maka menyerahkannya kepada hakim. Jika tidak memungkinkan juga maka menyerahkan kepada orang yang bisa dipercaya. Karena sungguh nabi sholallahu alaihi wasallam sebelum hijrah ke madinah, beliau menyerahkan wadi'ah kepada ummi aiman radiyallahu anha dan menyuruh Ali untuk mengembalikan kepada pemiliknya (HR Al Baihaqi no.289/6 dihasankan al-Albani dalam Irwaul Gholil).
Demikian juga jika ia mengalami sakit parah, maka ia wajib mengembalikan wadi'ah kepada pemiliknya. Jika tidak menjumpai pemilikinya maka dapat menyerahkannya kepada hakim atau kepada orang yang dapat dipercaya.
Ketujuh, jika wadi'ah berupa hewan kendaraan (unta, kuda dll) maka mustauda'i wajib memberikan makan dan minum. Jika ia menelantarkannya maka ia wajib menggantinya jika rusak dan berdosa karena menelantarkan hewan yang dimuliakan. Karena setiap perbuatan baik kepada makhluk bernyawa ada pahalanya.
Kedelapan, mustauda'i itu adalah orang yang dapat dipercaya, perkataannya bisa diterima jika ia mengklaim telah mengembalikan wadi'ah kepada pemiliknya atau wakilnya. Ucapannya diterima tatkala ia bersumpah ketika wadi'ah mengalami kerusakan bukan karena pelanggaran dan kelalaian.
Wajib bagi mustauda'i untuk tidak menunda tatkala pemiliknya memintanya. Jika ia menundanya tanpa udzur dan hartanya rusak maka ia wajib menggantinya.
Kesembilan, bentuk wadi'ah modern di zaman sekarang yaitu wadi'ah (titipan uang) di bank. Setiap individu (nasabah) menitipkan sejumlah uang di bank-bank konvensional dengan waktu tertentu atau tanpa ditentukan waktunya. Kemudian pihak bank mempergunakan dana tersebut dan memberikan tambahan (bunga tetap) berupa uang. Sehingga akad wadi'ah berubah menjadi akad qordi (bank memimjam uang dari nasabah) ditinjau dari sisi tindakan bank menguasai dana nasabah, dari sisi kesiapan menjamin dana nasabah, dan berjanji akan mengembalikan sewaktu-waktu nasabah ingin menarik dananya. Ini adalah bentuk riba yang diharamkan.
Maka kaum muslimin hendaknya berhati-hati dari praktek seperti ini. Adapun jika pemilik dana (nasabah) tidak menuntut bunga seperti pemilik rekening bank yang masih aktif di zaman ini maka tidak mengapa karena ia tidak mengambil bunga dari harta pokok yang ia titipkan di bank.
Adapun jika nasabah diharuskan untuk mengambil bunganya dan ia terpaksa menitipkan uang di bank karena bahaya yang kemungkinan besar terjadi (misal tingkat keamanan yang rendah atau angka kriminalitas tinggi) sehingga bahaya dapat menimpanya jika ia tidak menitipkannya di bank, maka ia boleh mengambil bunganya dan menyalurkannya untuk kepentingan kaum muslimin secara umum.
Referensi:
Al fikhul Muyassar fii dauil kitabi wasunnah. Hal 250-251
Pontianak, Ahad 7 Dzulqodah 1441/ 28 Juni 2020
Akhukum Fillah
Abu Aisyah Dodi Iskandar
No comments:
Post a Comment