Perusak Akidah yang Mengurangi Keimanan dan Tidak Menyebabkan Kafir

Dan termasuk kebid'ahan yaitu apa yang dipercayai oleh sebagian masyarakat jahiliyyah di bulan Safar bahwa dia tidak akan bepergian pada bulan tersebut, dan meyakini bahwa di dalamnya terdapat binatang yang disebut “Safar” yang dapat menyebabkan sakit perut,  mereka meyakini Safar sebagai bulan yang sial. Anggapan seperti ini termasuk kebodohan dan kesesatan.

Maka sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لا عدوى ولا طيرة
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar)” (HR Bukhari no.5776 dan Muslim no.2224 dari Anas radhiyallahu anhu).

Sungguh, dengan meyakini adanya penularan penyakit dengan sendirinya, meyakini sial tanpa dalil dan mengaitkan keselamatan atau  musibah tanpa dalil semuanya termasuk perkara jahiliyyah yang dapat merusak agama.

Barangsiapa yang mengklaim bahwa ada penularan penyakit dengan sendirinya maka ini termasuk kebatilan, penularan tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi Allahlah yang menjadikan penularan sebagai sebab adanya penyakit pada orang yang sehat, bukan penyakit itu sendiri yang menularkan, maka tatkala sebagian orang Arab mendengar hadist Nabi
لاعدوى
"tidak ada penyakit menular dengan sendirinya"

lalu ia berkata kepada beliau: Ya Rasulullah, unta itu di padang pasir itu kelihatannya mengalami sakit kudis, maka jika ada unta yang berpenyakit mendekatinya maka menyebabkan sakit padanya, lalu Nabi sholallahu alaihi wasallam bertanya:

فمن أعدى الأول
"lalu siapa yang menyebabkan unta pertama sakit (sebelum unta yang lainnya)" (HR Bukhari no.5717, Muslim 2220 dari hadist Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Maksud dari pertanyaan Nabi sholallahu alaihi wasallam: "siapakah yang pertama kali menurunkan penyakit kudis".

Beliau sholallahu alaihi wasallam melalui pertanyaan secara tidak langsung sedang mengajarkan Tauhid Rububiyyah kepada sebagian orang Arab tersebut ("tambahan dari penerjemah").

Maka segala urusan ada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, jika Allah berkehendak  maka penularan menjadi sebab terjadinya penyakit pada unta dan jika Allah tidak berkendak maka tidak akan terjadi penularan.

Dan Beliau sholallahu alaihi wasallam bersabda:

لايوردن ممرض على مصح
"Unta sakit tidak dicampur dengan yang sehat" (HR Bukhari no.5771, Muslim no. 2220 dari hadist Abu Hurairah).

Artinya janganlah kalian mencampurkan unta yang sakit dengan yang sehat, hendakah diberikan pembatas dalam rangka melakukan suatu usaha untuk menghindari keburukan atau menjauhkan sebab terjadinya penularan.

Meskipun demikian, segala urusan tetap di tangan Allah, tidak ada penyakit yang menularkan dengan sendirinya, melainkan urusannya  di tangan Allah.

قُل لَّنْ يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا
"Katakan, tidak akan menimpa kita melainkan apa yang sudah Allah takdirkan untuk kita" (At taubah:51).

Pencampuran hanyalah diantara sebab terjadinya penyakit, sehingga diusahakan tidak adanya pencampuran agar unta yang berpenyakit kudis tidak mengkontaminasi unta yang sehat.

Demikianlah Rasul sholallahu alaihi wasallam menyuruh kita berhati-hati dari sebab-sebab keburukan, bukan berarti jika terjadi pencampuran otomatis menularkan penyakit, tidak demikian, kadang menularkan kadang juga tidak, semua urusannya ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Oleh sebab itulah beliau sholallahu alaihi wasallam bertanya: "siapa yang menularkan penyakit pada unta yang pertama"

Dan uraian di atas masuk dalam bab hadist Nabi sholallahu alaihi wasallam:

فر من المجذوم فرارك من الأسد
"berusahalah menjauh dari yang berpenyakit kusta seperti engkau berlari menjauhi dari singa" (HR Bukhari kaitannya dengan kitab pengobatan, Ahmad no. 9429 dari hadist Abu Hurairah disohihkan Al Albani dalam Sohih Al Jaami' no.7530).

Penjelasannya yaitu masyarakat jahiliyyah menganggap bahwa penyakit menular, tathoyyur atau hama serangga adalah ruh mayat seakan-akan burung yang berputar diatas kuburan, masyarakat jahiliyyah meyakini hal tersebut sebagai kesialan.

Ini adalah batil dan tidak ada ada landasannya. Ruh mayat tergantung pada surga atau neraka.

Tiyaroh atau merasa sial yang disebabkan indra penglihatan dan pendengaran termasuk perbuatan jahiliyah, di mana mereka merasa sial jika mereka melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan mereka seperti gagak atau keledai hitam atau hewan yang ekornya terputus atau sejenisnya, mereka merasa sial dengan hal tersebut. Ini  adalah kebodohan dan kesesatan mereka.

Allah jalla wa 'ala berfirman dalam membantah mereka,

إِنَّمَا طٰٓئِرُهُمْ عِنْدَ اللَّه
“..sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah..”
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 131)

Ditangan Allah lah segala bahaya dan manfaat, dan di tangan-Nya lah pemberian dan pencegahan, dan pada asalnya tiyaroh itu tidak memiliki asal, tetapi itu adalah sesuatu yang mereka yakini dalam dada mereka dan hakikatnya tidak ada, melainkan itu adalah kebatilan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لا طيرة
"Tidak ada tiyaroh (mengaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar)” (HR Bukhari no.5776, Muslim no.2224 dari hadist Anas radhiyallahu anhu).

Oleh karena itulah apabila seseorang melihat yang tidak disukai maka ia sebaiknya tidak mengurungkan niatnya.

Seandainya ia keluar untuk safar dan bertemu dengan keledai yang dianggap tidak cocok atau berjumpa dengan laki-laki yang tidak disukai atau sejenisnya maka hendaknya jangan mengentikan safarnya bahkan sebaliknya melanjutkan saja safarnya dan menyerahkan urusan kepada Allah, sesungguhnya menghentikan safar karena menganggap akan sial setelah melihat atau bertemu dengan sesuatu yang tidak disenangi maka ini disebut tiyaroh.

Tiyaroh termasuk perusak akidah akan tetapi bukan syirik besar melainkan syirik kecil.

Semua kebid'ahan yang seperti ini termasuk perusak akidah dan tidak menjadikan pelakunya kafir.

Demikian juga bid'ah-bid'ah seperti bid'ah maulid, mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat beribadah, bid'ah lainnya seperti sholat rhogoib, perayaan isro mi'roj yang mereka tetapkan pada 27 Rajab maka ini semua tidak ada dasarnya.

Sebagian manusia merayakan malam nisfu sa'ban dengan melakukan pendekatan diri di waktu tersebut seperti dengan menghidupkan malam dengan ibadah dan berpuasa di siang harinya dengan keyakinan sebagai bentuk pendekatan diri maka ini tidak ada dasarnya serta hadist-hadist yang mendasarinya tidak sahih bahkan ini juga termasuk bid'ah.

Ringkasnya, segala ibadah yang dipraktekkan manusia namun tidak pernah diperintahkan, tidak pernah dikerjakan, dan tidak pernah ditetapkan Nabi sholallahu alahi wasallam maka ini bid'ah.

Oleh sebab itulah Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda:

من احدث في امرنا ماليس منه فهو رد
"Barang siapa yang membuat-buat perkara yang baru dalam urusan (agama) kami yang tidak ada asalnya maka tertolak" (HR Bukhari no.2697, Muslim no.1718 lafadz milik Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu anha).

Dan beliau bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
"Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari urusan (agama) kami maka tertolak" (HR Muslim no.1718 dari hadist Aisyah radhiyallahu anha).

Dan beliau sholallahu alaihi wasallam pernah berpesan dalam khutbanya:

وشر الأمور محدثتها، وكل بدعة ضلالة
"Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara baru yang diada-adakan" (HR Muslim no. 867 dari hadist Jabir radhiyallahu anhu).

Beliau memperingatkan manusia dari semua bid'ah dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan sunnah.

Maka wajib bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan Al Islam (sunnah) dan istiqomah (terus menerus) berada di atasnya karena Al Islam sudah mencukupi dan sudah sempurna untuk mereka.

Kaum muslimin tidak butuh kepada segala bid'ah, Allah Ta'ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridoi Islam sebagai agama kalian.”
(Al-Ma'idah: Ayat 3).

Allah telah menyempurnakan agama dan menyempurnakannya - segala puji dan rasa syukur kepada-Nya - manusia tidak perlu membuat dan mengamalkan bid'ah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي تمسَّكوا بِهَا وعضُّوا عليها بالنواجذ
“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian" (HR Abu Dawud no.4607, telah disahihkan Al Albani dalam sohih al jami' no. 25449).

Kaum muslimin tidak butuh bid'ah yang dibuat Zaid atau Amru' (misalnya), bahkan wajib memegang erat-erat dengan apa yang telah Allah syariatkan, wajib meniti di atas manhaj (metode beragama) Allah.

Berhenti pada ketetapan-Nya dan meninggalkan perkara-perkara baru yang dibuat manusia.

Allah telah mencela bid'ah dan pelakunya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكٰٓؤُا شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنۢ بِهِ اللَّهُ  ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ  ۗ وَإِنَّ الظّٰلِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridoi) Allah?” (Asy-Syura: 21).

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua kepada kebaikan, memperbaiki keadaan kaum muslimin, serta taufik untuk memahami agama, dan menjauhkan dari sebab-sebab kejahatan, kesesatan dan penyimpangan. Semoga shalawat dan salam dari Allah atas Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Referensi:
Alqowadihu fil akidah wa wasail assalaamati minha. Hal 26-31
20 Rabiul Awwal

Pontianak, 1441/17 November 2019

Akhukum..
Ghulam Rabbani Ramadhan
Mahasiswa Tingkat I Program Sarjana Pend. Agama Islam UMP

Muroja'ah:
Abu Aisyah Dodi Iskandar

Alumni S2 Pendidikan Kimia UNY

No comments:

Post a Comment