Keutamaan Puasa pada Hari Asyuro

Saudaraku kaum Muslimin rohimakumulloh …..

Tahukah anda, apa sebenarnya Puasa ‘Asyuro itu ? Apa hukumnya, dan bagaimana cara mengamalkannya ?

Ketahuilah....

Puasa ‘Asyuro itu adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari ke sepuluh dari Bulan Muharrom.

Tentang keutamaannya, dijelaskan dalam hadits Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjelaskan :

وصيام يوم عاشوراء أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله

“Dan puasa hari Asyuro, aku berharap kepada Alloh agar *bisa menghapus (dosa-dosa) setahun sebelumnya (yakni setahun yang lalu, edt.)”

Dalam lafadz lainnya, ketika beliau ditanya tentang Puasa ‘Asyuro, beliau menjawab :

يكفر السنة الماضية

“Mengapus (dosa-dosa/kesalahan) setahun yang lalu.” (HR Imam Muslim no. 1162 / 196 )

Tentang hukum puasa ini, dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rohimahulloh sebagai berikut :

“Para ulama telah sepakat bahwa Puasa ‘Asyuro itu hukumnya adalah sunnah.”(Syarh Shohih Muslim, 8/4)

Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat tentang kapan sesungguhnya hari ‘Asyuro itu.

Jumhur (mayoritas) ulama salaf dan kholaf berpendapat ‘Asyuro itu adalah hari ke sepuluh dari bulan Muharrom.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ‘Asyuro itu adalah hari ke sembilan dari bulan Muharrom, dan ini pendapatnya Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma.

Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang terdapat dalam Shohih Muslim (no. 1133) :

“Bahwa Al-Hakam bin Al-A’roj bertanya kepada Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma tentang puasa ‘Asyuro, beliau berkata : “Apabila kamu melihat hilal (bulan sabit tanggal satu) Muharrom, maka hitunglah.” Dan pada pagi hari tanggal sembilan (Muharrom), beliau berpuasa. Lalu aku bertanya : “Apakah seperti ini Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berpuasa ?” Beliau menjawab : “Iya.”

Tetapi kalau kita perhatikan dengan seksama, dhohir hadits tersebut menunjukkan, bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma dengan puasa tanggal sembilan Muharrom, adalah puasa yang dilakukan untuk menyelisihi (membedakan diri) dengan puasanya orang-orang Yahudi, bukan menunjukkan bahwa ‘Asyuro itu adalah tanggal sembilan Muharrom.

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits dalam Shohih Muslim pula (no. 1134) :

“Bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tatkala berpuasa pada Hari ‘Asyuro dan memerintahkan (para sahabat beliau) untuk berpuasa, mereka (para sahabat) berkata : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ini adalah hari yang (juga) diagungkan/dimuliakan oleh orang-orang Yahudi dan Nashoro.”

Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kalau begitu, tahun yang akan datang kita akan berpuasa pada hari (tanggal) ke-sembilan.” Tetapi belum sempat datang tahun berikutnya, beliau telah meninggal dunia.”

Jadi, kita juga disunnahkan untuk berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Muharrom selain pada hari ke-sepuluhnya.

Ini dilakukan, untuk membedakan dengan puasanya Ahlul Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nashoro.

Dalil lainnya yang menunjukkan hal tersebut, adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur rohimahulloh dalam Sunan-nya dengan sanad yang shohih (sebagaimana disebutkan dalam Iqtidho As-Shirotil Mustaqim (1/250 dan 415), Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صوموا التاسع والعاشر, خالفوا اليهود

“Berpuasalah pada hari ke sembilan dan ke sepuluh (dari bulan Muharrom), selisihilah orang-orang Yahudi..”

(lihat juga Mushonnaf Abdur Rozaq (no. 7839), Al-Baihaqi (4/287), dengan sanad-sanad yang juga shohih)

Maka berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, Jumhur (mayoritas) ulama, diantaranya Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad rohimahumalloh berpendapat disunnahkan untuk berpuasa pada hari ke-sembilan dan ke-sepuluh dari bulan Muharrom, yakni tanggal 9 dan 10 Muharrom.

Wallohu a’lam.

(Maroji’ : Syarh Shohih Muslim (8/11-13), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 2007), Tafsir Al-Qurthubi (1/391), Taudhihul Ahkam (3/201) dan lain-lain)

MASALAH  : “Apakah ada dalil lainnya yang juga memerintahkan berpuasa pada hari ke-10 dan ke-11 dari bulan Muharrom ?”

Ada dalil yang menunjukkan hal itu, yakni hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Berpuasalah pada hari ‘Asyuro, selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

(HR Imam Ahmad (no. 2154) dan Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya sebagaimana disebutkan dalam Iqtidho’ As-Shirothil Mustaqim (1/416-417) )

Akan tetapi sayangnya hadits tersebut Dho’if (lemah), dikarenakan dho’ifnya Ibnu Abi Laila dan Dawud bin Ali.

Disamping itu, berdasarkan riwayat yang lebih shohih, yang justru disunnahkan untuk berpuasa bersama dengan hari yang ke-sepuluh adalah hari yang ke-sembilannya.

Dikuatkan pula, bahwa tatkala Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diberitahu bahwa orang-orang Yahudi juga mengagungkan/memuliakan hari ‘Asyuro, beliau tidak mengatakan :
(“Besok aku akan berpuasa pada hari ke-sebelas”), tetapi beliau mengatakan :

“Sungguh, bila ada kesempatan tahun yang akan datang, aku akan berpuasa pada hari ke-sembilan (dari Muharrom).”

Demikianlah, yang disunnahkan adalah berpuasa pada hari ke-sembilan dan ke-sepuluh dari bulan Muharrom, wallohu a’lamu bis showab.

Akan tetapi, apabila ada keraguan tentang kapan awal masuknya bulan Muharrom, dan dia tidak tahu pasti hal tersebut, maka boleh baginya untuk berpuasa tiga hari (yakni tanggal 9, 10 dan 11 Muharrom), sebagaimana hal ini yang difatwakan oleh Ibnu Sirin dan Imam Ahmad bin Hambal rohimahumalloh

(lihat Iqtidho’ As-Shirotil Mustaqim, 1/417).

Dan pendapat ini pula yang pernah dinyatakan oleh guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh dalam sebagian dars (pelajaran) yang kami dengar dari beliau, wallohu a’lam bis showab.

MASALAH  : “Apa sebenarnya hikmah disunnahkannya Puasa ‘Asyuro tersebut ?”

Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma dalam *lAs-Shohihain :

“Bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah (baru saja hijroh ke Madinah), beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro, maka beliau bertanya kepada mereka : “Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab : “Ini adalah hari yang agung (mulia), yang mana Alloh telah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya (Bani Isroil) pada hari ini, dan Alloh menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya (bala tentaranya).

Kemudian Nabi Musa berpuasa (pada hari seperti ini) dalam rangka syukur (berterima kasih kepada Alloh), maka kami pun juga berpuasa.”

Setelah itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak dan lebih utama (untuk meneladani dan mengikuti) Nabi Musa daripada kalian.”

Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa.”

(HR Imam Al-Bukhori no. 2004 dan Muslim no. 1130)

Demikian itulah hikmahnya, tetapi sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, bahwa yang disunnahkan adalah juga berpuasa pada sehari sebelumnya, yakni tanggal sembilannya, dalam rangka untuk membedakan puasa kita dengan puasa Yahudi dan Nashoro, wallohu a’lam.

MASALAH  : “Tentang fadhilah (keutamaan) Puasa ‘Asyuro ini dijelaskan dalam hadits : “Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.” Apakah ini termasuk semua dosa, yang kecil dan yang besar ?”

Memang menurut dhohirnya hadits, puasa ‘Asyuro itu dapat menghapus semua dosa, baik yang kecil maupun yang besarnya.

Akan tetapi menurut Jumhur (mayoritas) para ulama, fadhilah puasa ‘Asyuro hanya bisa menghapus dosa-dosa yang kecil, tidak menghapus dosa-dosa yang besar.

Mengapa ? Ya, karena puasa ‘Asyuro itu tidak lebih utama dari puasa Romadhon, dan juga tidak lebih utama dari sholat-sholat yang lima waktu (sholat fardhu), sedangkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، و رمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنبت الكبائر (رواه مسلم)

“Sholat-sholat yang lima waktu, dan jum’at yang satu kepada jum’at yang berikutnya, serta Romadhon yang satu sampai kepada Romadhon yang berikutnya, menghapus (dosa-dosa kecil yang terjadi) diantara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar.”

(HR Imam Muslim no. 233, dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)

Intinya, jika sholat-sholat yang lima waktu, sholat jum’at dan puasa Romadhon yang hukumnya wajib saja, hanya akan bisa menghapus dosa-dosa kecil yang terjadi diantara keduanya, apalagi puasa ‘Asyuro atau puasa sunnah lainnya, tentu juga akan bisa menghapus dosa-dosa yang kecil saja.

Adapun dosa-dosa besar, hanya bisa dihapus dengan bertobat dengan sebenar-benarnya tobat dan memperbanyak istighfar (memohon ampunan) kepada Alloh Ta’ala.

Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat Al-Majmu’ (6/383) dan Taudhihul Ahkam (3/201) )

Semoga pembahasan yang ringkas ini bermanfaat untuk kita semuanya, Allohu yubaarik fiikum….

Surabaya, Rabu pagi yg sejuk, 4 Muharrom 1441 H / 4 September 2019 M

Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby

No comments:

Post a Comment