Sikap Ahlussunnah di Tahun Politik



Sikap Ahlussunnah tidak akan berubah, meski tahunnya berubah, dalam situasi apapun, dan dalam gejolak sepanas apapun tetap tidak akan berubah, sikap tersebut direalisasikan dalam empat pilar yang merupakan bagian dari sepenggal mukadimah pertama dalam kitab Tsalasatil Ushul karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah. Yaitu ilmu, amal, dakwah dan sabar.

Ilmu yang dimaksud adalah Tauhid dan Sunnah Nabi, menggalinya dari sekian banyak sumur ilmu yang diabadikan dengan tinta emas para ulama salafus sholeh sebagai para ahli waris yang sah atas Nabi kita yang mulia Muhammad sholawatulah wasalamu alaihi, direalisasikan dengan memperagakannya dalam kehidupan sehari-hari, disebarluaskan dengan menyampaikan dalam bentuk pesan moral kepada seluruh lapisan masyarakat dari berbagai level status sosialnya; dari tingkat grash root (tingkat awam), level para thulab (penuntut ilmu), tingkat sosial kelas menengah sampai pada tingkat elit politiknya sesuai dengan kapabilitasnya masing-masing, dan berusaha menghiasi dengan kesabaran pada setiap pilarnya.

Yang jadi pertanyaan, adakah jalan lain yang bisa ditempuh untuk meraih kejayaan umat. Jawabannya tidak ada jalan lain kecuali dengan menempuh empat pilar tersebut. Empat pilar tersebut terangkum dalam penggalan ayat mulia dari surat wal asri:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Orang-orang beriman dan beramal saleh serta saling berwasiat dalam ketakwaan dan kesabaran."

Al Imam Syafii rahimahullah menegaskan bahwa empat pilar tersebut secara eksplisit termaktub dalam surat yang agung yaitu surat Wal asri. Sampai beliau menuturkan :

لوما أنزل الله حجة على خلقه إلا هذه السورة لكفتهم

"Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah kecuali surat ini, niscaya benar-benar telah mencukupinya". 

Makna hujjah tersebut yaitu peringatan bagi orang-orang yang mukalaf (terbebani syariat). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap surat wal asri ini:

الكمال ان يكون الشخص كاملا في نفسه لغيره مكاملا لغيره فهذه إختصاره هي من أجمع سور القرآن للخير بحذافيره

"Kesempurnaan itu adalah seseorang memperbaiki dirinya dan memperbaiki orang lain, maka surat ini telah meringkas dari banyaknya surat-surat Alquran yang menginginkan seluruh kebaikan". Beliau juga menyatakan para pendahulu kita yang saleh telah berkonsensus (sepakat) bahwa orang yang berilmu tidak berhak disebut rabbani (generasi emas) sampai ia mengetahui kebenaran, lalu mempraktekannya, dan kemudian mengajarkannya sehingga ia akan disebut namanya dengan terhormat di kerajaan langit (Taisyirul Wushul Syarhi Tsalastil Ushul hal 28-29).

Lalu bagaimana sikap ahlussunnah di saat menjelang pesta demokrasi pemilihan presiden yang tinggal beberapa bulan lagi. Apakah tidak berubah? Jawabannya tidak.

Tiap individu harus bisa menempatkan posisinya masing-masing. Sebagai rakyat biasa tugasnya yaitu mendengar dan taat kepada penguasa selama bukan dalam perkara maksiat, tidak melakukan pembunuhan karakter penguasa. Sebagai thulab (penuntut ilmu) menyibukkan terus dengan menuntut ilmu dan memperaktekannya, sebagai da'i terus istiqomah menyebarkan ilmu, sebagai ulama tetap membimbing manusia dengan nasihat-nasihat agama dan memberikan nasehat secara khusus kepada penguasa dengan cara hikmah sesuai dengan kemampuannya bukan dengan cara menyebarkan aib-aibnya. Seluruh sikap tersebut masih dalam bingkai empat pilar diatas.

Lalu bagaimana jika kita dipimpin oleh penguasa yang menelantarkan rakyatnya? Apakah diam saja? Apakah pasrah berpangku tangan? Apakah perlu membentuk cyber army untuk mendiskreditkan penguasa yang zolim? Jawabannya adalah "tidak".

Maka sikap yang benar yang sesuai dalam bingkai empat pilar tersebut yaitu rakyat harus melakukan pertobatan secara nasional, mengupayakan pembenahan secara besar-besaran (masif), mewaspadai musuh-musuh Islam dari dalam dan luar, tidak melakukan pemberontakan baik dengan senjata maupun perkataan. Karena bisa jadi Allah menurunkan azab tidak hanya melalui bencana alam, terkadang melalui tangan-tangan penguasa yang zolim. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al An’aam: 129).

Apa solusinya jika ingin mendapatkan penguasa yang adil. Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan menjalankan empat pilar tersebut. Bagaimana jika ingin meraih kejayaan umat dengan cari lain? Maka jawabannya : "tidak akan berhasil". Kalaupun berhasil pasti tidak akan lama dan kejayaan itu bukan hanya untuk sekarang tapi untuk anak cucu kita, jauh kedepan, bukan hanya satu periode (5 tahun misalnya). Allah telah memberikan bagi yang merealisasikan empat pilar tersebut sebuah garansi dalam salah satu ayatnya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ 

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa" (An Nur:55).

Mendiskreditkan, membongkar aib-aib penguasa dan mencelanya dihadapan rakyat baik secara langsung maupun melalui media sosial dan yang lainnya bukan termasuk amal sholeh. Mencela penguasa termasuk bagian dari memberontak dalam bentuk ucapan. Sebuah hadist tentang kisah seorang khowarij Dzul Khuwaishirah yang mencela kepada penguasa dihadapan khalayak ramai dengan ucapan:

إعدل وقيل:هذه قسمة ماأريدبها وجه الله

"Berbuat adillah, ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah". Lalu nabi  mengatakan:

 إنه يخرج من ضئضء هذا الرجل من يحقر أحدكم صلاته عندصلاته

"Sesungguhnya akan keluar keturunan dari laki-laki ini orang-orang yang kalian akan memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka."

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Ustaimin rahimahullah mengomentari hadist diatas:

هذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون بالسيف ويكون بالقول

"Ini adalah sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa pemberontakan itu kadang dengan pedang, dan kadang dengan perkataan." (Ta'liq ala risalah rof'ul asathin fii hukmil ithisol bi salathiini hal 33).

Al-Imam al-Barbahari berkata:

ومن خرج على إمام من أئمة المسلمين فهو خارجي وقد شق عصاالمسلمين وخالف الأثار وميتته ميتة جاهلية

“Setiap orang yang memberontak kepada penguasa kaum Muslimin maka dia seorang Khawarij, dan berarti dia telah memecah belah persatuan kaum Muslimin dan menyelisihi Sunnah, serta matinya seperti mati Jahiliyyah" (Syarhus Sunnah Imam al Barbahari tahqiq Syaikh Abu Yasir Khalid ar-Raddadi hal. 78). ِ

Ada sebuah keteladanan dari potret seorang Tabi'in yaitu Hasan Al Basri saat ada yang mengeluhkan penguasa zolim Hajaj Bin Yusuf atas kekejamannya maka jawaban beliau rahimahullah:

 إن الحجاجَ عذابُ اللهِ ، فلا تدفعوا عذابَ اللهِ بأيديكم ، و لكن عليكم بالاستكانةِ والتضرعِ ، فإنه تعالى يقول : " وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ 

"Sesungguhnya Hajaj Bin Yusuf adalah azab dari Allah, kalian tidak bisa menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian, melainkan kalian wajib tunduk kepada Allah dan merendahkan diri karena Allah berfirman: 'Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri' " (Al Mu'minun : 76).

Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa menolak penguasa zolim bukan dengan bebas membongkar aib-aibnya di depan umum melainkan dengan betobat kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya sampai Allah menggantikan dengan yang lebih baik (lihat https://eldorar.net/science/article/11876 ).

Nasihat ini ditulis bukan bertujuan untuk menjilat kepada penguasa namun mengembalikan sikap seorang muslim kepada sikap yang telah dicontohkan oleh para pendahulu yang salih. Karena merekalah yang paling berilmu dan paling bijak dalam menyikapi penguasa yang zolim.

Para pendahulu kita yang salih sangat paham tentang sabda Nabi shallahualaihiwasallam:

فإنكم ستجدون أثرة شديدة فاصبروا حتى تلقوا الله ورسوله فإني على الحوض, قالوا: سنصبر

"Nanti kalian akan melihat sikap mementingkan diri yang luar biasa dari para penguasa, maka bersabarlah hingga kalian menghadap Allah dan Rasul-Nya, sebab aku menanti kalian di telaga”, pesan Rasulullah. “Baiklah, kami akan bersabar”, jawab kaum Anshar. (HR Muslim no 1059).

Dalam hadits tersebut Rasulullah telah berwasiat kepada umatnya secara umum, dan kaum Anshar secara khusus; bahwa kelak akan muncul para penguasa yang mendahulukan kepentingan pribadi mereka, serta melakukan banyak kezhaliman dan kemungkaran. Praktek ibadah salaf ketika diuji oleh penguasa zolim, mereka berdoa kebaikan untuk penguasa agar Allah merubah hati-hati mereka menjadi baik. Lhatlah ucapan Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah:

لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها إلا في الإمام.

"Seandainya aku memiliki doa yang mudah dikabulkan niscaya tidak aku gunakan doa tersebut kecuali untuk penguasa."

 قيل وكيف ذلك يا أبا علي؟
"Ada yang bertanya kenapa bisa begitu?"

 قال: متى ما  صيرتها في نفسي لم تجزني ومتى صيرتها في الإمام فإصلاح الإمام إصلاح العباد والبلاد

"Beliau menjawab: 'Jika doa itu tidak aku gunakan untukku (untuk orang lain) maka kebaikannya tidak akan mencukupiku, namun jika doa tersebut aku gunakan untuk kebaikan penguasa maka kebaikannya untuk masyarakat dan negeri." Source

Abu Aisyah (Dodi Iskandar, S.Si, M.Pd)

No comments:

Post a Comment