Tingkatan-Tingkatan Hamba Tatkala Terjatuh Dalam Dosa

Tingkatan-Tingkatan Hamba Tatkala Terjatuh Dalam Dosa

    Sikap seorang hamba tatkala terjatuh dalam suatu dosa tergantung kepada keilmuannya dalam syariat dan takdir. Masing-masing manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda.

Tingkatan Pertama
Seorang hamba tatkala jatuh dalam suatu dosa, ia menisbatkan dosa tersebut kepada Allah dan merasa ia telah dipaksa melakukannya. Sikap seperti ini menyamai sikap orang-orang musyrik yang telah dikabarkan Allah dalam surat al an'am ayat ke 148.

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا
"Orang-orang musyrik akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya".

    Ini juga termasuk sikap sekte Jabariyyah dalam penyimpangan dan kesesatannya. Manakala terjatuh dalam suatu dosa ia akan mengatakan: "seandainya Allah tidak mentakdirkan dosa atasku". Hal ini sering kita dengar dari sebagian kaum muslimin. Mereka mengatakan: "Seandainya Allah berkehendak aku tidak akan melakukan dosa ini". Mereka menjadikan takdir sebagai alasan untuk suatu dosa [1]. Kelompok sesat ini disebut jabariyyah karena mereka menyatakan:

إن العبد مُجبَر على أفعاله، ولا اختيار له، وأن الفاعل الحقيقي هو الله تعالى، وأن الله سبحانه أجبر العباد على الإيمان أو الكفر

"sesungguhnya seorang hamba itu dipaksa oleh Allah atas perbuatannya dan sama sekali tidak diberikan pilihan, karena hakikatnya yang berbuat itu Allah, Allahlah yang memaksa hamba atas keimanan dan kekafirannya". Bahkan di kalangan mereka ada yang paling ekstrim (ghulat) berkeyakinan bahwa seorang hamba yang berbuat kesyirikan selama hamba tersebut masih mengenal Allah maka ia tetap sebagai seorang mukmin.  Kelompok jabariyah ekstrim ini mengikuti perkataan Jahm bin Shofwan:

أن الإيمان إنما هو معرفة الله تعالى بالقلب فقط، وإنْ أظهَرَ اليهودية والنصرانية وسائر أنواع الكفر بلسانه وعبادته، فإذا عرَف الله تعالى بقلبه فهو مسلم

"sesungguhnya keimanan itu hanyalah mengenal Allah saja dengan hati, meskipun seseorang itu menampakan dirinya seorang yahudi, nasrani dan seluruh jenis kekafiran dengan lisan dan ibadahnya maka jika dia telah mengenal Allah dengan hatinya maka dia seorang muslim"[2].
   
Pengikut jabariyyah ketika jatuh dalam perbuatan dosa seperti berzina, mencuri, dan membunuh maka mereka akan mengatakan:
انا معذور انا مجبور
"saya diberi maaf, saya dipaksa". Mereka berkeyakinan bahwa mereka berbuat dosa karena tidak ada pilihan karena sesungguhnya Allahlah yang melakukan itu semuanya dan manusia sama sekali tidak memiliki kehendak [3].

Pernyataan kelompok ini bertentangan dengan Kitabullah di antaranya yaitu:

مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ

"Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat". (Al Imran:152) [4].

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا

"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka" (Al Kahfi:29).

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya" (Fushilat:46).

Berdasarkan sejumlah ayat di atas maka aqidah kelompok jabariyyah menyalahi secara syari bahwa Allah memberikan kehendak (iradah) kepada manusia untuk berbuat ketaatan dan dosa. Allah tidak pernah memaksa para hamba-Nya untuk melakukan suatu dosa. Secara fakta (waqi') juga bahwa manusia  memiliki kehendak untuk berbuat apa saja yang dia inginkan, manusia bebas memilih makan dan minum apa saja, bisa memilih berjual beli dan lain sebagainya [4].

Bahkan makhluk yang pertama kali yang menjadikan takdir sebagai alasan dalam suatu maksiat adalah syetan. Setelah bermaksiat kepada Allah setan berkata:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي

"Setan berkata :Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah metakdirkan bahwa aku sesat"
Dari ayat tersebut Setan menyandarkan kesalahannya kepada Allah. Berbeda dengan Nabi Adam alahi sholatu wassalam dan Istrinya, tatkala telah salah kepada Allah, mereka mengatakan:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi[1].

    Maka Nabi Adam beristigfar dan bertobat dari dosa dan celakalah Iblis yang terus menerus melakukan maksiat dan menjadikan takdir sebagai alasan. Memang benar Allah mentakdirkan segala sesuatu, namun kita ini dilarang menjadikan takdir sebagai alasan untuk suatu dosa sehingga merasa telah dipaksa. Yang boleh menjadikan takdir sebagai alasan hanya pada perkara-perkara yang berkaitan dengan musibah.  Sebagaimana yang diungkapkan para ulama:

لايحتج بالقدر على المعائب, وإنما يحتج به على المصائب

"Tidaklah menjadikan takdir sebagai alasan terhadap aib-aib, hanyalah boleh menjadikan takdir sebagai alasan terhadap berbagai musibah" [1].

Tingakatan Kedua

Hamba yang berdosa merasa bahwa itu akibat dari dirinya, akan tetapi ia tidak bertobat dan tidak membersihkan dosanya. Sikap tersebut dapat terjadi karena berputus asa dari rahmat Allah dan berkata : "aku jatuh dalam dosa karena aku dihukum dan tobat dan istigfar tidak akan memberikan manfaat", sebab lainnya karena berharap dengan disertai sikap dusta dan berkata :"sesungguhnya Allah maha pemaaf dan maha menyayangi", namun ia tidak berhenti bermaksiat. Pada tingkatan ini ada dua kerancuan (subhat). Pertama subhat tersebut yaitu berputus asa dan ini subhatnya sekte wai'didyah dan yang sepakat dengannya. Kedua yaitu subhat rodja (salah satu jenis ibadah) yang disertai kedustaan dan ini merupakan subhat murjiah. Banyak manusia yang mencederai ibadah rodja dengan terus-menerus berbuat maksiat dan mereka mengatakan: "sesungguhnya Allah maha pemaaf dan maha menyayangi". Terkadang sebagian dari mereka menyangka bahwa dosa itu tidak akan membahayakan iman. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh murjiah ekstrim: "sesungguhnya dosa tidaklah merusak keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat terhadap kekafiran". Ini pernyataan yang salah, karena sesungguhnya dosa dapat membinasakan pelakunya. Wajib hukumnya bagi setiap hamba untuk beristigfar dan bertobat dari dosa-dosa[1].

    Salah satu sebab banyaknya manusia melakukan dosa yaitu karena bertaklid buta kepada orang yang dianggap alim oleh mereka dan diamnya orang alim diantara mereka mengindikasikan persetujuan terhadap perbuatan dosa tersebut. Misalnya ada orang yang berbuat dosa (bertransaksi batil) menjual harta tanah wakaf kaum muslimin padahal ia bukan pemilik dan bukan wakilnya, sementara tanah tersebut adalah amanah suatu lembaga yang telah disahkan oleh ulil amri setempat sebagai pemegang hak amanah atas tanah tersebut.

    Syaikh Muhammad Sholeh Al Munajjid ketika ditanya hukum menjual barang yang belum dimiliki, atau barang yang belum dia beli, atau barang yang belum dia kuasai, atau barang tersebut belum sepenuhnya menjadi haknya. Maka beliau menjawab:

لا يجوز للمرء, فعَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ : يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي مِنْ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدِي ، أَبْتَاعُ لَهُ مِنْ السُّوقِ ثُمَّ أَبِيعُهُ ؟ قَالَ : (لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) رواه الترمذي (1232) والنسائي (4613) وأبو داود (3503) وابن ماجه (2187) وأحمد (14887). وصححه الألباني في "إرواء الغليل" (1292).

"Tidak boleh bagi seseorang menjual barang tersebut, berdasarkan hadist Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, beliau berkata "Wahai Rasulullah, seorang pria datang kepadaku lalu ia ingin bertransaksi jual beli denganku yang tidak kumiliki. Apakah boleh aku belikan untuknya dari pasar?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu jangan menjual apa yang tidak kamu miliki”(HR Tirimizi no.1232, Nasai no. 4613, Abu Dawud no. 3503, Ahmad no. 14887, disahihkan Al Albani dalam Irwaa'ul ghaliil no. 1292) [5]. Taklid buta adalah sikap yang sangat berbahaya. Karena sikap fatal inilah dapat menyeret manusia melakukan perbuatan dosa yang paling besar yaitu syirik.

    Syaikh Soleh Al Fauzan ketika ditanya mengapa banyak manusia memiliki ketergantungan dengan kuburan yang dikeramatkan dan sampai berbuat syirik. Beliau menjawab:

السبب في هذا, أولا:التقليد الأعمى وثانيا:سكوت العلماء عن النهي عن ذلك

"sebabnya adalah karena mereka bertaklid buta dan diamnya orang-orang alim dari melarang perbuatan syirik tersebut" [6].

Tingkatan Ketiga

Seorang hamba terjatuh dalam suatu dosa dan ia pun menyadarinya kemudian dia beristigfar dan bertobat. Ini adalah tingkatan yang bersifat wajib. Orang yang telah merealisasikannya berarti telah melakukan apa yang telah Allah wajibkan atasnya berupa tobat dan istigfar serta kembali kepada Allah azza wajal [1].

Tingkatan Keempat

    Sebagian manusia ada yang terjatuh dalam suatu dosa. Ia mengakuinya lalu beristigfar dan bertobat kemudian ia melakukan talamus,yaitu usaha mencari-cari hikmah Allah menetapkan dosanya. Mengapa Allah mentakdirkan atas dirinya dosa, kemudian melakukan ta'amul, yaitu melakukan perenungan (kotemplasi) dan mendapatkan jawaban bahwa sesungguhnya Allah mentakdirkan atasnya dosa disebabkan oleh dosa lainnya. Sebagaimana para salafus sholeh menyadari suatu dosa tatkala terjadi dan Allah telah menetapkan atasnya maka mereka mengatakan: "sesungguhnya dosa ini disebabkan oleh dosa dirinya"[1].

    Berkata Ibnu Sirrin: "aku benar-benar menyadari dosaku disebabkan aku pernah berdosa sehingga akupun mengalami kebangkrutan (dililit hutang), yaitu 40 tahun lalu aku pernah menghina seorang laki-laki dengan mengatakan wahai orang yang bangkrut". Sufyan At tsauri mengatakan: "aku terhalangi dari melakukan sholat malam disebabkan suatu dosa yang telah aku lakukan 5 bulan yang lalu". Sufyan bin Uyainah rahimahullah pernah berkata: "Dahulu aku diberikan oleh Allah pemahaman terhadap Alqur'an, tatkala aku menerima harta (tidak jelas) maka perbuatan itu menghilangan pemahamanku". Inilah potret para ulama fukoha yang mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui bahwa Allah maha bijaksana dan tidaklah dosa terjadi melainkan disebabkan oleh dosa lainnya. Sehingga mereka bersungguh-sungguh mencari-cari penyebab terjadinya dosa yang telah Allah tetapkan atasnya lalu kemudian mereka beristigfar[1].

    Inilah tingkatan yang keempat dan diharapkan bagi orang yang mengamalkannya akan diberikan kebaikan yang banyak dan mampu menjauhi dosa yang banyak dan berada pada derazat orang-orang yang merasa diawasi oleh Allah. Yaitu mengetahui dosa dan sebab-sebab Allah mentakdirkannya dan mencari-cari dosa lainnya yang menjadi penyebab terjadinya dosa.Demikianlah perbedaan-perbedaan diantara manusia dalam menyikapi suatu dosa. Di tingkatan manakah posisi anda?[1].


Dodi Iskandar, S.Si, M.Pd (Alumni Mahad Ilmi YPIA Yogyakarta 2013-2014)
Dosen Politeknik Negeri Pontianak

Referensi:
[1] Ar ruhaili, Ibrahim Amir. (1431). Tazkiyatun Nafs Mafhumihaa Wa Marotibihaa Wa Asbabihaa.Darun Nasihah dan Darun Imam Ahmad. Hal 30-35
[2]. Addaq, Sholaah Najib. (1438). Makalah Al qodariyah Al Jabariyah. Diakses 30 Dzulhijah 1439 dari http://www.alukah.net/sharia/0/115029/
[3] Al Madkholi, Rabi' bin Hadi. (Tanpa Tahun). Al Farqu bainal qodariyah wal jabariyah.  Diakses 30 Dzulhijah 1439 dari http://www.rabee.net/ar/questions.php?cat=31&id=218
[4] Al Ustaimin, Muhammad bin. (1435). Syarah Tsalasatil Ushul. Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Ustaimin Al khairiyah. Cetakan 9. Hal 116-117.
[5] Al Munajjid, Muhammad Sholeh. (1440). Bai'u Laisa Indak.  Diakses 30 Dzulhijah 1439 dari https://islamqa.info/ar/169750
[6]. Al Fauzan, Soleh. (Tanpa Tahun). Syarah Tafsir Kalimat Tauhid. Dar Imam Ahmad. Hal 38.

No comments:

Post a Comment