Sesungguhnya manusia itu akan
mengalami dinamika perubahan dalam kehidupannya. Perubahan tersebut terjadi
pada tiga hal, yaitu kenikmatan, musibah, dan dosa [1]. Kebahagiaan hidup
adalah idaman setiap hamba dan kebahagiaaan tersebut memiliki tanda-tandanya.
Dijelaskan oleh Syaikhul Islam Al Mujaddid Muhammad Bin Abdul Wahab rahimahullah bahwa tanda-tanda orang
yang bahagia itu ada tiga. Yaitu:
Tanda
pertama, jika ia diberi nikmat ia mampu mensyukurinya. Kenikmatan mencakup
dua jenis, yaitu kenikmatan vertikal dan kenikmatan horisontal. Kenikmatan
vertikal berkaitan dengan perkara akhirat seperti nikmat iman dan nikmat
ketaatan kepada Allah azza wajalla.
Sementara kenikmatan horisontal yang berhubungan dengan perkara dunia.
Kenikmatan akherat sejatinya jauh lebih besar dibandingkan kenikmatan dunia.
Apapun kenikmatan dunia berupa pasangan hidup (istri), anak-anak, kendaraan,
rumah, harta yang melimpah, dan yang lainnya. Karena hakikatnya kenikmatan
dunia adalah kenikmatan yang tidak serius dan melalaikan. Allah Ta'ala tegaskan
hal tersebut dalam kitab-Nya yang mulia.
وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu" (Al Hadiid: 20).
Sufyan bin uyainah pernah menuturkan
: "diantara kenikmatan vertikal terbesar dan sangat layak untuk disyukuri
yang didapatkan seorang hamba yaitu dia dikaruniai ilmu sehingga mampu memahami
kalimat laa ilaaha illallah". Sebab
kalimat tersebut hanya dimiliki oleh penghuni surga. Kebutuhan penghuni surga
kepada kalimat tersebut bagaikan kebutuhan penduduk bumi kepada air yang
dingin, tanpa air tidak ada satu manusiapun yang sanggup untuk bertahan hidup
[2].
Kenikmatan dunia yang tengah ia
dapatkan tidak dingkarinya, ia mengakui bahwa itu semata-mata datang dari
Allah, tidak disalahgunakan, dan tidak dibelanjakan melainkan untuk ketaatan
kepada Allah Ta'ala. Kenikmatan ilmu tentang kalimat laa
ilaaha illallah telah ia dapatkan
dijaganya, diamalkan, dan didakwahkannya kepada orang lain. Karena
dengan sebab ia bersyukur maka Allah akan menambahkan keutamaaan dan
kebaikan-Nya [2]. Samahatus Syaikh Bin Baz rahimahullah
menyatakan bahwa cara mensyukuri nikmat Allah yaitu mentaati-Nya, mengerjakan
perintah-pertintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dan hal ini wajib
hukumnya bagi setiap mukmin atas nikmat yang telah diperolehnya dari nikmat
waktu lapang, nikmat sehat dan afiat, nikmat Islam, nikmat keturunan, harta dan
nikmat lainnya. Sebagaimana yang dicontohkan nabi Daud alaihisallam, beliau senantiasa menaati perintah Allah,
menghentikan larangan-larangan-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut untuk
ketaatan kepada Allah yang maha suci dan maha tinggi.
اِعْمَلُوا
آَلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
"Bekerjalah
hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) dan sedikit dari hamba-hamba
Allah yang bersyukur" (Saba:13) [3].
Tanda
kedua, jika diuji oleh Allah ia mampu bersabar. Allah akan menguji para
hamba-Nya dengan berbagai musibah, perkara-perkara yang ia benci, dan
gangguan-gangguan dari orang-orang kafir dan munafik. Tatkala ia sedang diuji
maka ia butuh kepada sikap tegar diatas agamanya, tidak lari dari masalah, ia
menghadapinya dengan kesabaran, tidak marah, tidak berputus asa, serta tidak
menggerutu. Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا إِبْتِلاَهُمْ, فَمَنْ رِضَى فَلَهُ الرِّضَى وَمَنْ سَخَطَ
فَعَلَيْهِ السَّخَطُ
"Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum maka
Dia akan mengujinya, maka barang siapa yang ridho maka
kaum tersebut mendapatkan keridhoan Allah, dan barang siapa yang marah (tidak
terima) maka kaum itupun akan mendapatkan kemarahan-Nya" (HR Tirmidzi:
601/4).
Manusia yang paling berat ujiannya adalah para rasul, para nabi, para
shahabat, orang-orang mukmin dan orang-orang yang keimanannya dibawah mereka.
Perlu diketahui bahwa Allah akan
mempergilirkan keadaan para hamba-Nya. Dunia itu tidak selalu nikmat, tidak
selamanya mewah dan lezat, serta tidak terus-menerus senang dan menang.
وَتِلْكَ
الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ
آَمَنُوا
"Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah
membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)" (Al Imron:140).
Kita berlindung kepada Allah agar jangan dijadikan
seperti orang-orang yang memiliki karakter munafik, ketika ia diberi nikmat ia
merasa puas, namun saat ditimpa musibah iapun kembali kepada kekafiran.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ
أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah
Allah dengan berada di tepi [tidak yakin]; maka jika ia memperoleh kebajikan,
tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana,
berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir)" (Al
Hajj : 11).
Fadhilatus Syaikh Abdurrahman bin
Nasir Al Barraak menyebutkan bahwa diantara bentuk-bentuk kesabaran yaitu
menahan lisan dan anggota badan dari melakukan perkara-perkara yang tidak halal
[1].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengutarakan bahwa manusia banyak yang mampu bersabar terhadap musibah yang
menimpa dirinya berupa sakit dan bencana alam, serta musibah-musibah lainnya
yang langsung datang dari Allah. Namun sedikit yang mampu bersabar terhadap
musibah yang Allah takdirkan berupa gangguan-gangguan dari manusia karena ia
akan selalu mengingat-ingat orang yang menyakitinya dan berkeinginan untuk
membalasnya, kecuali para nabi dan orang-orang shiddiq (benar keimanannya).
Nabi kita Muhammad sholawatullohi wasalamuhu alaihi sebagai
guru besar terbaik dalam kesabaran, beliau ketika disakiti kaumnya selalu
mengucapkan
يَرْحَمُ اللهُ مُوْسىَ لَقَدْ أُوْذِيَ
بِأَكْثَرِ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Semoga Allah selalu merahmati Musa
‘alaihis salam, sungguh beliau telah diuji lebih daripada ini dan beliau
bersabar.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Rasulullah
sholawatullohi wasalamuhu alaihi juga
pernah dikabari tentang seorang nabi dari kalangan nabi yang disakiti dengan
cara dipukuli oleh kaumnya sampai berdarah. Maka, nabi tersebut berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرلِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ
لاَيَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, ampunilah kaumku, sebab
mereka ini tidak mengetahui.” (HR. Al Bukhari dan
Muslim)[4].
Rasulullah
shollallohu alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ
كُلَّهُ عَجَبٌ ، مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضاءٍ إِلاَّ كَانَ خَيْرًا لَهُ ،
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang
mukmin itu. Sesungguhnya, semua perkaranya menakjubkan. Tidaklah Allah tetapkan
untuknya satu ketetapan, kecuali itu baik untuknya. Jika diberi kebaikan, ia
bersyukur dan itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan
itu baik pula baginya.” (HR. Muslim, nomor 2999).
Syaikh Prof Dr Abdurrozak bin Abdul
Muhsin Al Abbad hafidzahullahu
mengomentari hadist tersebut bahwa seorang mukmin senantiasa baik keadaannya.
Ketika diberi nikmat dia bersyukur dan dia mendapatkan kemenangan berupa pahala
atas rasa syukurnya dan disaat dia ditimpa musibah maka diapun memperoleh
kemenangan yaitu pahala atas kesabarannya [5].
Tanda
ketiga, jika dia khilaf dan terjatuh dalam perbuatan
dosa maka iapun segera bertaubat. Syaikh Prof Dr Sholeh
Al Fauzan menyatakan bahwa orang-orang yang tidak melakukan istigfar justru
akan bertambah dosanya dan hal tersebut dapat menjadikan hidupnya tidak bahagia
(sengsara). Allah menjelaskan dalam kitab-Nya karakter orang-orang yang
bertauhid (muwahidin) yaitu ketika terjatuh dalam suatu dosa maka segera dia
bertobat.
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
"Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka" (Al Imron : 135).
Tidaklah orang yang melakukan suatu dosa
melainkan karena kejahilan (kebodohan). Kejahilan tersebut maknanya adalah
kurangnya akal. Terkadang seorang alim (berilmu) sekalipun dari sisi yang lain
ia bodoh tatkala sedang melakukan perbuatan dosa. [2]
Taubat sebagaimana
disebutkan oleh Syaikh Shalih Ghanim Sadlan yaitu:
ترك الذنب مخافة الله واستشعار قبحه و ندم على
المعصية من حيث هي معصية والعزيمة على ألا يعود إليها إذا قدر عليها وتدارك ما
أمكنه ان يتدارك من الأعمال بالإعادة
"meninggalkan dosa karena takut
kepada Allah, merasakan keburukannya, menyesalinya, dan bertekad sekuat mungkin
untuk tidak mengulanginya, menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa menyebabkan
dirinya akan mengulangi perbuatan-perbuatan dosa tersebut".
Berdasarkan terminologi diatas mengindikasikan bahwa
seseorang yang melakukan tobat harus terpenuhi beberapa syarat diantaranya :
(a) berhenti dari dosa tersebut, (b) merasakan buruk akibatnya, (c) bertekad
tidak akan mengulanginya, dan (d) menghindari hal-hal yang dapat mengantarkan kepada
perbuatan dosa tersebut. [6]
Misalnya, seseorang yang bertobat
dari zina persetubuhan maka dia wajib berhenti dari perbuatan zina dan berusaha
menjauhi dari perkara-perkara yang dapat membangkitkan syahwat kepada lawan
jenisnya yang haram sejauh-jauhnya. Sungguh aneh, ada seseorang yang (mohon
maaf) pernah berzina dengan pacarnya sampai hamil diluar nikah dan pada
dasarnya dia memiliki kelemahan (mudah terjerumus) kalau berhubungan langsung
dengan kaum hawa dan mengaku bertobat, tapi masih video Call, chating bebas,
masih suka bersepi (berkhalwat) dengan istri orang tanpa ada kepentingan yang
syar'i maka tobat seperti itu belum memenuhi syarat-syaratnya. Bahkan dia
merasa sudah terproteksi dari virus-virus hati yang hal itu adalah kelemahan
dirinya justru nekad menjadi admin grup whatsapp khusus wanita yang jumlahnya
sampai ratusan membernya maka dia sudah merasa aman dan metazkiyah dirinya
bahwa dosa-dosanya dimasa silam sudah diampuni dan merasa sudah aman, maka
sikap seperti ini sangat membahayakan keselamatan dirinya, terlebih-lebih lagi
di zaman now ini yang mana komunikasi
bebas dengan lawan jenis sangat memungkinkan terjadi dan tidak diketahui orang
lain. Demikian juga tatkala dia menzolimi saudaranya, membunuh karakternya,
menakut-nakutinya (mengancam akan memukulnya) dan seterusnya maka manakala dia
tidak segera meminta maaf atas kelancangan dan kezolimannya maka dia termasuk
bukan orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat tobat.
Hendaknya kita ingat firman Allah
bahwa karakter muwahhidin itu adalah
ketika mereka berbuat dosa segera untuk melakukan pertobatan dan tidak
menunda-nundanya.
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ
يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ
يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً
"Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera,
maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana" (An Nisa:17).
Maka jika ketiga
tanda tersebut ada pada diri seseorang maka orang tersebut
memiliki kebahagiaan yang sempurna. Namun jika berkurang tandanya maka
berkurang pula kebahagiaannya.
[1] Al Barrak, Abdurrahman bin Nasir. (1431 H). Syarhu Al Qowaidul Arba'. Lajnah Ilmiyah bi syabakatil nuuril Islam. Hal 8.[2] Al Fauzan, Abdullah bin Shalih.(1433 H). Makna Laa Iaaha Illallah wa muqtadooha wa atsaruha fil fardi wal mujtamai'. Daarul Baido'. Hal 18.[3] Baz, Abdul Aziz bin .(1426 H). Syarhu Al Qowaidul Arba'. Muasasah Syaikh Abdul Aziz Bin Baz. Hal 9-10[4] Taimiyah, Ibnu. (tanpa tahun). Qoidah Fisobri. Darul Qoosim. www.ktibat.com. Hal 4[5] Al Abbad, Abdurrozak bin Abdul Muhsin. (1433 H). Syarhu Al qowaidul Arba'. www.ajurry.com Hal 12[6] Assadlan, Shalih Ghanim. (1416 H). Taubat Ilallah. Maktabah Malik Fahd Al Watoniyah. Hal 10.Kota Baru Ujung, Pontianak, 26 sya'ban 1439/12 Mei 2018Abu Aisyah Dodi Iskandar, S.Si, M.Pd
No comments:
Post a Comment