Zalim
merupakan kata yang tidak asing lagi di telinga setiap muslim. lawan kata zalim
yaitu adil. Zalim menurut istilah syar'i adalah mengerjakan larangan serta
meninggalkan perintah Allah, setiap perbuatan yang melampau ketentuan syariat
termasuk perbuatan zalim yang diharamkan. Mencegah perbuatan zalim berarti
menegakkan keadilan. Allah Ta'ala mengatakan dalam kitab-Nya:
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. ". (Al Hadiid:25).
Demikian juga halnya, kata zalim
berdekatan dengan kata mungkar. Syaikh Soleh Al fauzan menyatakan bahwa :
كل
مانهى الله عنه ورسوله, فجميع المعاصي والبدع منكر, وأعظم المنكر شرك بالله
Mungkar
merupakan setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Kemaksiatan
dan kebid'ahan termasuk perkara yang mungkar. Perkara mungkar yang terbesar
yaitu syirik kepada Allah (al amru bil ma'ruf wa nahyu anil mungkar, hal 6).
Salah satu perbuatan maksiat dan
termasuk perbuatan zalim dan mungkar adalah merampas harta orang lain. Merampas dalam bahasa arabnya yaitu al ghasb
غَصَبَ
يَغْصِبُ غَصْبًا)
(Kamus Al Munawwir, hal 1007)
Merampas secara istilah syar'i yaitu
اَلاِسْتِلاَ
عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا بِغَيْرِ حَقٍّ
"menguasai hak orang lain
secara zhalim dan melanggar dengan tanpa alasan yang hak"
(lihat alfiqhul muyassar fii daui
kitabi wa sunnah hal 253)
Hukum merampas tanah adalah haram
berdasarkan Alquran, hadist dan kesepakatan para ulama.
dalil datang dari Alquran :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"dan janganlah
kalian saling memakan harta-harta kalian dengan cara yang batil" (QS. Al Baqarah: 188). Merampas temasuk cara yang batil dan tidak
dibenarkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفسه
“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali
dengan kerelaan dirinya.” (HR. Addaruqutni)
وأجمع المسلمون على تحريم الغصب، وهو معصية وكبيرة من الكبائر؛ لما
ورد من زجر عن التعدي على الأموال، ووعيد على أخذها بغير حق: ((مَن أخذ شبرًا من
الأرض ظلمًا، فإنه يطوَّقه يوم القيامة من بين سبع أرضين))
"Kaum muslimin
telah bersepakat keharaman atas harta rampasan, hal tersebut termasuk diantara
perbuatan dosa besar, berdasarkan riwayat dari Zuhri tentang perbuatan
melampaui batas terhadap harta, dan ancaman bagi yang mengambilnya dengan cara
yang tidak benar: Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim maka
sesungguhnya Allah akan mengalungkan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat (HR
Bukhari dan Muslim).
اتفق العلماء على أنه يجب رد العين المغصوبة إلى صاحبها حال قيامها
ووجودها بذاتها؛ لقوله -صلى الله عليه وسلم-: (لا يأخذن أحدُكم متاعَ أخيه جادًّا ولا لاعبًا، وإذا أخذ
أحدُكم عصا أخيه فليردَّها عليه)
Para ulama telah sepakat wajib mengembalikan harta
rampasan kepada pemilik yang sah dalam keadaan utuh, berdasarkan sabda Nabi sholallohu
alaihi wa sallam: Janganlah salah seorang di antara kalian mengambil
tongkat saudaranya baik secara main-main maupun dengan bersunguh-sunguh. Jika
salah seorang di antara kalian mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikankah
kepadanya (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)
oleh Abu Aisyah
(http://www.alukah.net/sharia/0/72923/#_ftn6)
Syaikh Sholeh Al Fauzan
mengatakan:
وإن كان الغاصب قد بنى في الأرض المغصوبة أو غرس فيها , لزمه قلع
البناء والغراس .
"jika seseorang telah mendirikan
bangunan atau menanam diatas tanah rampasan wajib untuk merobohkan bangunan
atau mencabut tanaman tersebut (lihat mulakhos al fikhiy hal 130)".
Sungguh
aneh, sebagai seorang muslim yang menamakan dirinya bagian dari ahlussunnah
masih nekad melakukan tindakan gashb baik secara individu maupun secara
berjama'ah. Fakta telah berbicara, ada keluarga ahli waris yang ingin merampas
tanah yang dibangun diatasnya Sekolah Dasar, namun pengelola sekolah dasar
tersebut memenangkannya dalam persidangan disebabkan masih tersimpan sertifikat
wakaf sebagai alat bukti (wawancara dengan seorang pengacara muslim). Bahkan baru-baru ini ada keluarga
ahli waris pewakaf yang merampas tanah masjid yang sudah diwakafkan secara
lisan oleh orang tuanya yang sudah meninggal dunia dan kemudian warga
menggantinya dengan sejumlah uang ratusan juta untuk membebaskannya dikarenakan
tanah masjid tersebut belum memiliki sertifikat wakaf dan ahli waris keluarga
pewakaf menggugat dan menang di pengadilan (wawancara dengan satu warga jamaah
masjid). Fakta kezaliman sungguh terjadi di sekitar kita.
Bekerja
sama antara dua kelompok atau lebih dalam rangka mensukseskan perbuatan zalim
dan termasuk perkara yang dilarang agama. Apapun alasannya, sekalipun tujuannya
baik. Misalnya dua kelompok organisasi berniat ingin mendirikan masjid dan
pondok tahfidz. Tidak bisa dipungkiri masjid adalah tempat ibadah dan pondok
tahfidz merupakan tempat menghafal alqur'an. Namun kalau tanah yang digunakan
adalah tanah rampasan dari organisasi lainnya maka ini termasuk perbuatan yang
dilarang (mafsadat). Kaidah menyatakan :
إن در ء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"menolak mafsadat didahulukan
daripada mengambil manfaat". Kaidah agung ini sering dilupakan oleh
sebgaian besar manusia. Tidak sedikit hanya melihat kebenaran dengan menjadikan
maslahat sebagai tolok ukur satu-satunya tanpa memperhatikan bagaimana cara
mendapatkan sarana tersebut (lihat Kun salafiyyan alal jaddah: 64).
Bekerjasama
dalam perbuatan mafsadat tentu saja dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya.
Termasuk dalam hal ini yaitu berkoalisi dalam perbauatan Ghasab. Allah
melarangnya dalam Alquran:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam
perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah,
sesungguhnya siksaan Allah itu sangat berat ” (QS. Al Maidah: 2).
Dalam hadits juga disebutkan,
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada
keburukan maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan buruk tersebut dan juga
dosa dari orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)
referensi:
Fahrudin, A; Ari Widodo; Gatot H. Pramono; Misri Gozan; Mohammad Mukhlis Kamal;
Poerbandono; Soelfan Danoerahardja; Wheny Abdurrahman. (2004). Alquran Digital versi 2.1. Website
http://www.alquran-digital.com
Munawwir, Ahmad
Warson. (1984). Kamus Al Munawwir. Pustaka Progresfi.Yogyakarta
Al ahmadi, Abdul
Aziz Mabruk; Abdul Karim bin Sunaitan; Abdullah bin Fahd; Faihan bin Syali.
(2006). AL Fikhul Muyassar Fii Daui kitabi Wa sunnah. Maktabah Araobiyah
Suudiyah.
As Suhaimi,
Abdussalam bin Salim. (2005). Kun Salafiyyan Alal Jaddah. Syari Al Hadi Al
Muhammadi. Kairo
Al Fauzan,
Sholeh. (2003). Al Mulakhos Al Fikhiy. Darul A'simah. Riyadh
Tim. (2018).
Hukum Ghasb. http://www.alukah.net/sharia/0/72923/#_ftn6
No comments:
Post a Comment